Pengepungan di Bukit Duri: Cermin Kelam Sosial Indonesia dalam Garapan Hollywood Joko Anwar

Pengepungan di Bukit Duri: Ketika Kekerasan dan Trauma Sosial Menjadi Cermin Generasi Muda
Joko Anwar, Morgan Oey, dan Omar Esteghlal saat preskon di Surabaya
SUARAJATIM - Sutradara Joko Anwar kembali menghadirkan karya yang tak sekadar menghibur, tetapi menusuk nurani. Film terbarunya, Pengepungan di Bukit Duri, siap mengguncang bioskop Indonesia mulai 17 April 2025.
Morgan Oey sebagai guru di SMA Duri dalam film Pengepungan di Bukit Duri karya Joko Anwar
Kolaborasi perdana antara rumah produksi lokal Come and See Pictures dan raksasa Hollywood, Amazon MGM Studios, ini bukan hanya tentang ketegangan visual, melainkan juga kritik sosial tajam terhadap isu kekerasan remaja, diskriminasi, dan trauma masa lalu yang masih membayangi Indonesia.

Film bergenre drama-thriller ini menandai babak baru dalam industri perfilman Indonesia. Kerja sama dengan Amazon MGM Studios tidak hanya membawa standar produksi tinggi, tetapi juga memperluas jangkauan pesan kemanusiaan yang ingin disampaikan.

Dalam konferensi pers di Surabaya, Joko Anwar menjelaskan bahwa Pengepungan di Bukit Duri terinspirasi dari kondisi sosial Indonesia yang “sedang tidak baik-baik saja”. Ia menolak anggapan bahwa adegan kekerasan dalam film hanya untuk sensasi. “Realita di luar sana lebih keras. Film ini adalah refleksi, bukan nostalgia kelam,” tegasnya (13/4).

Plot yang Memikat: Pencarian, Pengkhianatan, dan Pertahanan Diri

Kisah film ini berpusat pada Edwin (diperankan Morgan Oey), seorang guru yang terlibat dalam pencarian keponakannya yang hilang. Untuk memenuhi janji pada mendiang kakaknya, Edwin menyamar sebagai pengajar di SMA Duri—sekolah bagi anak-anak bermasalah yang penuh dengan murid beringas. Namun, situasi berubah kacau ketika kerusuhan melanda kota. Edwin dan keponakannya terjebak di dalam sekolah, dipaksa bertahan dari murid-murid yang berubah menjadi ancaman mematikan.

Morgan Oey menggambarkan perannya sebagai “proses terapi”. “Isu diskriminasi dan ketidakadilan pada guru di film ini sangat nyata. Saya harap penonton bisa membuka ruang diskusi setelah menonton,” ujarnya. Adegan-adegan laga yang intens diimbangi dengan dialog filosofis, seperti ucapan Edwin: “Negara kita ibarat kaca tipis yang mudah pecah.”

Muatan Drama Action, Kritik Pendidikan dan Trauma Sejarah

Joko Anwar tidak setengah-setengah dalam menyelipkan kritik sosial. Film ini menyoroti sistem pendidikan yang gagal melindungi guru, diskriminasi struktural, dan dampak trauma kolektif pasca-kerusuhan 1998. Omara Esteghlal, salah satu pemeran, menambahkan: “Film ini menunjukkan bagaimana kebencian generasi muda seringkali lahir dari lingkungan yang tak memberi mereka pemahaman.”

Latar tahun 2027 yang dipilih Joko Anwar bukan tanpa alasan. Ini adalah peringatan: jika pembenahan pendidikan dan kesadaran sosial diabaikan, kekerasan sistematis akan menjadi keniscayaan. Dennis Susanto (penata latar) dan Jaisal Tanjung (sinematografer) berhasil menciptakan atmosfer mencekam yang menggambarkan sekolah sebagai “miniatur negara yang salah urus”.

Teknis Editing dan Musikal yang Mencekam ala Hollywood

Kolaborasi teknis tim produksi layak diapresiasi. Aghi Narottama, komposer musik film, meramu nada-nada dissonan yang memperkuat ketegangan. Sementara itu, adegan kerusuhan di sekolah dirancang dengan detail brutal namun tidak gratuitif—setiap pukulan dan teriakan punya alasan naratif.

Tia Hasibuan, produser film, menekankan bahwa kolaborasi internasional ini tidak mengorbankan identitas lokal. “Kisah ini sangat Indonesia, tetapi pesannya universal. Standar produksi tinggi kami jaga agar pesannya sampai tanpa terdistraksi,” jelasnya.

Target Penonton: Generasi Muda yang Melek Sosial

Meski dibintangi nama-nama besar seperti Morgan Oey dan Omara Esteghlal, Joko Anwar mengaku tidak mengejar jumlah penonton. “Yang penting film ini bisa disentuh generasi Z. Mereka agen perubahan,” ucapnya. Hal ini sejalan dengan tema film yang menantang penonton untuk “tidak pura-pura lupa” pada sejarah kelam.

Pemilihan SMA Duri sebagai latar juga simbolis. Sekolah—yang seharusnya menjadi tempat mencerdaskan—justru berubah menjadi medan pertarungan hidup-mati. Ini metafora tajam untuk sistem yang gagal melindungi masa depan anak bangsa.

Dengan durasi sekitar dua jam, Pengepungan di Bukit Duri menjanjikan pacing yang cepat namun tetap memberi ruang bagi penonton bernapas. Adegan klimaks kerusuhan di sekolah sudah dijamin membuat penonton terpaku di kursi bioskop.

Film ini tidak hanya layak dinantikan karena kolaborasi Hollywood-nya, tetapi juga karena keberaniannya mengangkat isu yang sering dianggap tabu. Seperti kata Joko Anwar: “Yang menakutkan bukan kekerasannya, tapi sistem yang membiarkannya tumbuh.”

Menyambut April 2025, Pengepungan di Bukit Duri bukan sekadar tontonan—ia adalah cermin yang memaksa kita bertanya: Sudah sejauh mana Indonesia belajar dari masa lalu?
LihatTutupKomentar