- Stella Christie berharap masyarakat Indonesia takut posisi mereka digantikan oleh AI. Mengapa demikian?
Suarajatim.com - Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie menyampaikan fakta mengenai Artificial Intelligece (AI) di acara Inaugurasi dan Wisuda SMA Unggul Del, Sumatera Utara pada Sabtu (13/7/2024).
Pada kesempatan itu Christie menjawab kekhawatiran yang kerap melintas di kepala banyak orang mengenai keberadaan AI. Haruskah manusia takut digantikan oleh AI? Apakah AI akan benar-benar mengabil alih pekerjaan manusia?
"Ya, Anda memang harus takut tergantikan dengan AI," ujarnya sambil tersenyum.
Namun lebih lanjut ia menegaskan bahwa AI bukanlah kecerdasan sungguhan. Chat GPT misalnya, meski bisa menyajikan jawaban atas suatu pertanyaan dengan terperinci layaknya jawaban manusia, namun dalam beberapa hal kerap terjadi kesalahan.
"Jadi jangan berpikir karena AI itu canggih, maka apa yang dikeluarkan olehnya itu selalu benar. AI is not as intelligent as you think. Jadi saat ini manusia masih lebih unggul. Tapi, perlu diingat bahwa AI akan terus berkembang. Yang hari ini dijawab salah oleh AI, minggu depan bisa jadi AI sudah menyajikan jawaban yang benar."
Menurut Christie, jika manusia hanya memiliki kemampuan seperti ChatGPT maka tentu tidak akan bisa bersaing. Tidak akan ada yang bisa mengungguli ChatGPT mulai dari memori hingga kemampuan berhitung.
"Oleh karena itu, Anda harus memiliki kemampuan yang tidak sama dengan ChatGPT. Apa itu? Pertama, Anda harus mampu kerja sama dengan sesama manusia atau human focused skill. Kedua Anda harus punya sistem thinking," ungkap wanita kelahiran Medan yang juga seorang ilmuwan kognitif dan guru besar di Tsinghua University, Beijing, Tiongkok.
Lebih lanjut Christie mengatakan bahwa secanggih-canggihnya AI, itu dibuat untuk manusia, sehingga manusia sendiri yang harus menentukan apakah mau menggunakan AI atau tidak. Selain itu, menusia juga harus bisa menentukan batasan sampai dimana ia bisa memanfaatkan teknologi AI.
"Sebagai contoh, saya coba pakai ChatGPT untuk bertanya apa itu symptoms inherited truculence. Lalu ChatGPT menjawabnya dan dengan rinci. Padahal inherited truculence itu gak ada, saya ngarang-ngarang aja. Maka bisa dibilang apa yang dikatakan chatGPT ini banyak yang palsu," paparnya.
Christie melanjutkan, "Kemudian saya tanya lagi, would dop-1 mutant affect local search in C.elegans. Lalu ChatGPT menjawab dengan panjang lebar, bahkan lengkap dengan paper. Padahal itu juga pertanyaan karangan saya. Tidak pernah ada paper seperti itu yang dirilis dimanapun. Maka sekali lagi ini membuktikan bahwa AI itu juga banyak menjawab kepalsuan."
Maka dari itu, Christie menegaskan bahwa human focused skill itu sangat penting. Manusia harus mengerti sampai di mana batas menggunakan AI itu sendiri. Jangan hanya percaya-percaya saja.
"AI itu bisa buat lukisan, bahkan buat film. Lalu kalau ini dijual, royaltinya untuk siapa? Kalau Anda minta pendapat pada AI lalu AI jawabannya ngaco, lalu menyebabkan kerugian, siapa yang bertanggung jawab? Masa mau minta tanggung jawab AI? Ini pernah terjadi di Colorado, di mana AI memenangkan lomba artwork melawan manusia, nah apa diperbolehkan AI mendapat kemenangan? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab jika Anda memiliki human focused skill," katanya.
Lulusan Harvard ini juga mengatakan bahwa pada akhirnya manusia lah yang harus menentukan tujuan penggunaan AI. Namun, jangan hanya mengerti AI-nya, melainkan juga harus mengerti manusianya. Pertimbangkan pula kultur yang ada di masyarakat setempat saat menggunakannya.
"Sedangkan yang saya maksud dengan sistem thinking adalah kemampuan untuk menghubungkan suatu jawaban dengan data. Misal, AI menyatakan bahwa orang kulit putih mendapatkan kesempatan 2 kali lipat lebih besar untuk mendapatkan perawatan kesehatan ekstra dibanding orang kulit hitam. Ini nampak bias, padahal AI tidak memiliki perasaan bias. AI itu menjawab berdasarkan statistik saja, mengambil rata-rata dari jutaan data. Padahal kenapa hal tersebut bisa terjadi, karena orang kulit putih jauh lebih sering ke rumah sakit, jadi data yang ada di rumah sakit itu lebih banyak orang kulit putih," jelasnya.
Itulah mengapa penting sekali manusia memiliki system thinking. Manusia harus paham bagaimana AI memperoleh jawaban. Harus bisa mengaitkan jawaban tersebut dengan data-data yang ada atau apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat.
"Jadi, jika kembali lagi ke pertanyaan, apakah Anda akan digantikan oleh AI? Anda pasti digantikan oleh AI jika apa yang Anda lakukan sama dengan apa yang AI lakukan. Kalian harus ingat bahwa kalian bukanlah alat, justru kalian adalah pengguna alat itu. Manusia harus jadi agen yang membuat perubahan bukan menjadi alat. Maka jika tidak ingin kalah dengan AI, janganlah jadi manusia yang rata-rata. Jadilah yang kreatif, jadilah yang memberi inovasi," tutupnya.