- IQ rata-rata orang Indonesia gak sampe 80. Fakta ini bukanlah hal baru bagi masyarakat kita. Namun, Wamendikti Stella Christie justru imbau masyarakat untuk jangan memusingkan hal ini. Mengapa demikian?
Suarajatim.com - IQ atau Intelligence Quotient biasa dijadikan tolak ukur untuk mengetahui kecerdasan seseorang baik dari segi memori hingga kemampuan memecahkan masalah.
Berdasarkan World Population Review, masyarakat Jepang menempati urutan pertama pemilik IQ tertinggi di Asia dengan skor rata-rata 106.48. Sedangkan peringkat kedua hingga kelima ditempati secara berturut-turut oleh Taiwan (106.47), Singapura (105.89), Hong Kong (105.37), dan Cina (104.1). Lalu di mana posisi Indonesia?
Masyarakat Indonesia menempati peringkat 36 di Asia dengan rata-rata IQ 78,49. Sedangkan di dunia, Indonesia nongkrong di peringkat ke-130.
Fakta mengenaskan ini memang sudah diketahui oleh banyak masyarakat Indonesia. Bahkan kerap dijadikan satire dalam berbagai diskusi.
Mengenai hal ini, Prof. Stella Christie, A.B., Ph.D., Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, justru punya pandangan yang berbeda.
Jika kebanyakan masyarakat merasa miris sekaligus putus asa, akan skor IQ rata-rata warga Indonesia yang tak sampai 80, Christie malah ogah menggunakan hasil skor IQ tersebut sebagai tolak ukur kecerdasan masyarakat. Dengan gamblang ia menyatakan bahwa warga Indonesia itu cerdas-cerdas.
"Kita ini banyak terpaku pada IQ test. Tapi saya mau bilang, yaknilah bahwa orang Indonesia adalah orang-orang pintar. Ini ada bukti ilmiahnya. Nanti saya akan bahas di lain waktu," ujarnya saat mengisi podcast di kanal Youtube MerdekaDotCom.
Menurutnya metode yang digunakan untuk tes IQ masih simpang siur dan belum bisa diakui kredibilitasnya. Selain itu, hasil tes IQ tak bisa menjamin masa depan seseorang. Ia berharap agar masyarakat jangan terlalu terpengaruh dengan hasil tes IQ.
"Berdasarkan riset, IQ itu tidak terbukti memprediksi keberhasilan orang dalam hidup. Hasil IQ test itu mendeteksi general intelligence padahal konsep ini masih simpang siur, belum terbukti. Jadi jangan terlalu khawatir dengan hasil IQ test," kata ilmuwan kognitif yang juga guru besar di Tsinghua University, Beijing, Tiongkok, ini.
Christie mengungkapkan, berdasarkan penelitian, hasil tes IQ bisa dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah kondisi orang ketika dites. Sehingga tidak bisa dijadikan patokan dalam menilai apakah orang itu cerdas atau tidak.
"Saya termasuk yang kurang mendukung soal IQ test ini. Mau IQ-mu 80 tapi kalau nilai matematikamu 100 ya tidak ada masalah. Tapi kalau IQ kamu 140 tapi malas-malasan sehingga nilainya jelek ya buat apa," ujarnya.
Menurutnya manusia itu akan terus berkembang secara mindset. Cara berpikir manusia selalu bisa dikembangkan seiring waktu.
"Saya meneliti tentang asal-muasal kepintaran atau the origins of intelligence. Jadi, dari awal kita itu sudah memiliki kepintaran. Berdasarkan penelitian saya, bayi umur 3 bulan itu sudah mengerti tentang jumlah. Jadi kalau disodorkan dua mangkuk, yang satu berisi nasi penuh yang satunya hanya sedikit, mereka akan pilih yang lebih banyak," papar lulusan Harvard ini.
Lalu kenapa saat sekolah ada anak yang nilai matematikanya bagus ada yang tidak? Christie menjelaskan, itulah dampak dari kesalahpahaman pendidikan di Indonesia.
"Yakin kita memiliki kemampuan berpikir yang sangat baik, lalu bagaimana kita mengolah cara berpikir yang sudah ada sejak dulu itu. Inilah yang harus diperhatikan," katanya.
Christie menganjurkan agar orang tua tidak terlalu dini mengajarkan anak untuk membaca dan berhitung. Apalagi sampai dijejali. Ia mengarahkan agar proses pengajaran dimulai dari menumbuhkan rasa ingin tahu dan pengenalan tentang kehidupan sehari-hari.
"Saya paling tidak setuju kalau anak itu dijejali. Padahal anak-anak dari awal sudah banyak yang mereka tahu. Seharusnya itu yang kita jadikan modal untuk mengajarkan dia. Mulai dari hal-hal yang relate dengan keseharian. Diajak berpikir tentang kehidupan sehari-hari," ungkap ibu satu anak itu.
Learning to learn, menurut Christie, adalah kuncinya. Anak-anak kecil sedang belajar mengenali seperti apa dunia ini. "Apakah dunia itu membosankan, apakah dunia itu harus menunggu apa yang diberikan orang tua saya, atau saya bisa banyak bertanya dan mencari tahu."
Christie melanjutkan, pembelajaran bisa dimulai dari hal-hal yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Misal jika hari ini nenek dan kakek akan datang ke rumah, maka kita harus masak seberapa banyak, dan hal-hal lain yang memantik rasa ingin tahu anak sehingga mereka mengetahui bagaimana caranya belajar.
Ia menegaskan bahwa menumbuhkan motivasi belajar itu sangat penting. Anak-anak harus tahu apa hubungannya hal-hal yang mereka pelajari dengan kehidupan mereka.
"Anak-anak sebenarnya pintar tapi tidak bisa melihat mengapa saya harus belajar dan punya nilai bagus. Ini yang penting untuk dikomunikasikan. Kalau saya biasa menjawabnya, kita harus belajar karena ketika kita punya prestasi bagus, kita jadi punya banyak pilihan nanti mau jadi apa," kata Christie.
Ia juga menyoroti bagaimana mata pelajaran di Indonesia disajikan seakan-akan itu merupakan bagian yang terpisah-pisah, sehingga anak kesulitan mencari korelasinya.
"Sekarang yang terjadi anak-anak diberikan pelajaran A dengan materi yang banyak. Lalu B dengan materi yang banyak. Seakan itu merupakan bagian yang terpisah-pisah. Maka kita juga perlu memberi tahu anak koneksi antara mata pelajaran satu dengan yang lainnya. Lalu apa sangkut pautnya dengan kehidupan mereka. Jadi anak punya motivasi. Ini hal yang belum diimplementasikan di sekolah," pungkasnya.