Ketua Umum Serikat Pekerja PT PLN Abrar Ali: RUU EBET Syahwat Politik Belaka

  • Ketua Umum Serikat Pekerja PT PLN (Persero) menolak skema power wheeling di RUU EBET (Energi Baru dan Energi Terbarukan). Menurutnya keputusan tersebut gegabah dan berpotensi merugikan banyak pihak.


Jakarta, Suarajatim.com - Dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (24/5) lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, menyatakan bahwa pemerintah tidak ragu dan mendorong skema power wheeling masuk RUU EBET.

Wacana tersebut ditentang oleh berbagai pihak. Salah satunya Serikat Pekerja PT PLN (Persero). Melalui ketua umumnya, Abrar Ali, mereka menyerukan bahwa RUU tersebut hanyalah "syahwat politik” belaka. Menurutnya kekhawatiran Menteri ESDM terhadap kemungkinan ketidakmampuan PLN menyediakan energi listrik apabila terjadi demand yang tinggi, terkesan sangat didramatisasi.

Ketua Umum Serikat Pekerja PT PLN (Persero)
“Terlalu didramatisasi soal lonjakan demand tersebut. Buktinya, hingga saat ini kita masih eksis melayani kebutuhan listrik masyarakat dan dunia industri. Soal nanti ada lonjakan demand, PLN akan mengantisipasinya dengan pertumbuhan jumlah pembangkit baru. Jadi jangan terlalu didramatisasilah, kasihan rakyat. Rakyat kini sudah lelah menghadapi ekonomi yang sedang morat-marit ini,” kata Abrar di hadapan sejumlah media pada Kamis (11/7).

Penolakan-penolakan dari banyak pihak, membuktikan bahwa RUU ini bermasalah dan bakal menimbulkan kerugian bagi rakyat sehingga perlu dikaji ulang.

“Kan masih ada penolakan, Buktinya, saat rapat tersebut, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto menyatakan pihaknya menolak skema power wheeling dimasukan dalam RUU EBET, karena tidak sekadar mengatur soal sewa jaringan transmisi PLN oleh swasta. Ada implikasi yang krusial, PLN menjadi tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga dalam system single buyer and single seller (SBSS), tapi membentuk multi buyer and multi seller system (MBMS)" ungkap Abrar.

RUU EBET
Menurut keterangan Akbar, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, juga menyerukan penolakan. Skema power wheeling dinilai berpotensi menambah beban APBN dan merugikan negara. Karena power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen dan pelanggan nonorganik hingga 50 persen.

"Penurunan ini tidak hanya memperbesar kelebihan pasokan PLN, tapi juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Dampaknya dapat membengkakkan APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN, sebagai akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian. Terhadap rakyat, penetapan tarif listrik yang diserahkan kepada mekanisme pasarakan membuat tarif listrik bergantung demand and suplly," papar Akbar.

Abrar mengusulkan agar pembahasan RUU EBET dilanjutkan pada masa presiden periode 2024-2029 mendatang, sehingga masih ada waktu untuk membahasnya agar tidak merugikan.

"Jangan hanya ingin memaksakan “syahwat politik” dipaksakan harus selesai sebelum periode presiden sekarang yang akan berakhir pada Oktober mendatang. Kasihan rakyat dan akan menjadi beban negara nantinya," tegasnya.
LihatTutupKomentar