Tapera Ditolak Sana-sini, Netizen: Mau Ikutan Asal...

  • Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) masih menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Kebijakan yang tiba-tiba ini dinilai sebagai kado tak menyenangkan dari Presiden Jokowi menjelang akhir masa jabatannya. Bagaimana pendapat netizen serta serikat pekerja mengenai hal ini?


Suarajatim.com - Lewat program Tapera, gaji pegawai swasta, ASN, serta pekerja sektor informal akan dipotong 3 persen untuk ditabung sebagai cicilan pembelian rumah. Dengan rincian 2,5 persen dibayar oleh pekerja, dan 0,5 persen dibayarkan oleh perusahaan.

Kalangan pekerja dan pengusaha kebanyakan tidak setuju dengan aturan yang dianggap tak jelas dan merugikan ini. Selain sifatnya yang memaksa, jumlah tabungan yang dikumpulkan pun dianggap tak akan sebanding dengan harga rumah di era sekarang apalagi mendatang, sehingga meskipun ikut Tapera bertahun-tahun lamanya, tidak ada jaminan pekerja akan mendapat rumah.

Walau Tapera gencar dipromosikan sebagai sistem yang membantu masyarakat kelas menengah agar memiliki hunian sendiri, namun krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah kadung mendalam. Mayoritas masyarakat khawatir ini akan menjadi ladang korupsi baru, yang nasibnya akan berujung seperti kasus ASABRI dan Jiwasraya.

Netizen tak segan melontarkan komentar tajam, terutama untuk Presiden Jokowi dan jajaran pemerintahan lainnya yang belakangan tengah hobi mencetak kebijakan-kebijakan kontroversial.

"Pajak naik, UKT naik tahun depan, SYL korup sekeluarga, Bea Cukai, rumah menteri 14M, RUU penyiaran, dan sekarang Tapera. Orang Indonesia ini kesabarannya berapa lapis ya?" Kata akun @js***

"Gak perlu Tapera, yang penting pejabat jangan korupsi. Rakyat pasti makmur," tulis @rio***

"Tahun ini UMP Aceh naik 0,3 persen. Lalu hari ini negara mewajibkan pendapatan kami dipotong 3 persen. Ini maksudnya apa ya. Mau mensejahterakan atau merampok?" ujar @sams***

"Pegawai swasta mau saja ikut Tapera asalkan upah minimum tiap tahun naik 10 persen, harga sembako murah, dan pengelolaan dananya transparan. Bisa gak begitu?" Kata @capr***

Sebenarnya, Tapera bukanlah hal baru. Program ini sudah ada sejak tahun 1993 dengan nama Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS) yang fungsinya untuk meningkatkan angka kepemilikan rumah layak bagi para PNS.

Namun pada 2016, diterbitkan UU yang meleburkan Bapertarum PNS menjadi Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Namun 2 tahun kemudian, BP Tapera dibubarkan. Aset-aset dilikuidasi atas nama Bapertarum-PNS pada tahun 2020.

Sayang, praktiknya tak seindah janji manisnya. Banyak PNS mengaku kesulitan menarik uang mereka. Kontroversi Tapera belakangan ini memicu para pejuang pencairan Bapertarum kembali menyuarakan kegelisahannya.

"Dulu Bapertarum, almarhumah istri saya ASN guru. Saya mau urus dipersulit padahal persyaratan sudah lengkap. Akhirnya saya malas. Terakhir di hadapan karyawan salah satu bank BUMN saya bilang kalau rezeki untuk anak-anak saya tolong dikasih, kalau tidak yasudah biar Allah yang balas," kisah @surya***

Kejadian serupa dibagikan oleh akun @vl_va**y di media sosial X. Ia mengungkapkan bahwa ibunya yang merupakan pensiunan PNS memiliki pengalaman pahit dengan Tapera. Menurutnya, proses pencairan Tapera dinilai sulit dan berlarut-larut padahal hasil yang dapat dicairkan tidak seberapa.

"Mau tahu berapa total Tapera seorang PNS yang sudah bekerja selama bertahun-tahun sejak adanya Tapera buat PNS? total hanya Rp8 juta lebih dikit. Itupun kalau yang mengklaim anaknya cuma bisa diklaim Rp3 juta. Ujung-ujungnya? saya dan ibuk menyerah, tidak jadi klaim," kisahnya.

Ekonom Ari Perdana yang pernah menjabat sebagai Asisten Koordinator Kelompok Kerja Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengungkap fakta menarik di balik UU Tapera, melalui akun X-nya, @ari_ap.

Lewat cuitan tersebut, Ari mengungkapkan Boediono yang kala itu menjabat sebagai Wakil Presiden menolak mati-matian program Tapera karena dianggap memberatkan masyarakat dan tidak membawa benefit signifikan.

“Keberatan Pak Boed waktu itu kira-kira seperti ini. Pekerja dipaksa ‘menabung’ buat ‘rumah’, tapi bukan buat rumah dia sendiri. Keputusan soal rumah yang dibangun bukan ada di penabung. Padahal dia sendiri perlu menabung buat rumah dia sendiri,” sambungnya.

Lalu sebenarnya seperti apa sistem Tapera akan berjalan?

Program Tapera dikelola oleh Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat atau BP Tapera. Targetnya adalah seluruh masyarakat Indonesia yang telah bekerja.

Pada tahap awal Tapera akan  diberlakukan untuk seluruh PNS yang berasal dari pengalihan Bapertarum PNS yang sudah dibubarkan 2018 lalu. Iuran Bapertarum akan dijadikan saldo awal Tapera. Tahap berikutnya Tapera akan menyasar TNI, Polisi, Pegawai BUMN, pegawai BUMD, swasta, dan pekerja mandiri.

Dana yang terkumpul dari peserta Tapera akan dikontrak dengan sistem investasi bekerja sama dengan KSEI, Bank Kustodian, dan Manajer Investasi.

Secara teori, peserta berpenghasilan di bawah 8 juta, bisa mendapat pembiayaan untuk pembelian, pembangunan, atau renovasi rumah pertama setelah 1 tahun jadi peserta Tapera. Pembiayaan yang diberikan hingga 260 juta dengan suku bunga rendah dan tenor maksimal 30 tahun. Selain itu, peserta diimingi pengembalian tabungan beserta hasil pemupukannya yang dapat diambil setelah berhenti jadi peserta Tapera. Meskipun, hasil pemupukan ini tak jelas persentasenya.

Pada UU Tapera Pasal 39 ayat (2c) tercantum bahwa pemberian manfaat Tapera dilakukan berdasarkan tingkat kemendesakan kepemilikan rumah. Di mana kemendesakan ini dinilai oleh BP Tapera. Artinya, tidak semua peserta Tapera bisa mendapatkan rumah. Ada sejumlah syarat yang nantinya harus dipenuhi.

Pekerja swasta/BUMN/D yang berpenghasilan di atas 8 juta, diwajibkan menjadi peserta Tapera tetapi termasuk yang  tidak bisa mendapat manfaat rumah. Melainkan mendapat pengembalian dana plus hasil pemupukan setelah tidak menjadi anggota Tapera lagi. Tanpa kejelasan berapa persen hasil pemupukan yang dimaksud.

Dikutip dari tayangan Kontroversi di Metro TV, Tapera menjadi topik seru dalam diskusi antara Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dengan perwakilan DPR dan Komisioner BP Tapera.


Said Iqbal selaku Presiden KSPI menentang keras program Tapera. Ia menilai program tersebut tidak jelas dan merugikan rakyat baik yang berpenghasilan rendah ataupun tinggi.


"Tapera ini gak jelas. Uangnya sebenernya mau diapain sih?  Bukan pajak, bukan iuran. Buruh cuma tahu, loh ini kan uang gua, kok lu yang atur-atur. Parahnya, belum tentu juga dapat rumah. Yang lebih aneh, lu mau ngatur tapi lu gak mau ikut bayar," kata Said Iqbal.

Said juga tak setuju jika Tapera dianggap sebagai bentuk kehadiran pemerintah untuk rakyat. "Kalau dalam hal ini negara hadir, kenapa APBN tidak masuk dalam Tapera ini? Malah gaji buruh, guru yang kecil-kecil itu mau dipotong. Upah minimum sudah 3 tahun gak naik, ini mau dipotong aja," ujarnya.

Padahal, menurut Said, program ini juga dilaksanakan di Malaysia dan Singapura. Namun, di sana pemerintahnya ikut iuran, bahkan dua kali lipat jumlahnya. "Kok di sini sudah pemerintahnya gak mau bantu, ngatur, rakyat gak dikasih kepastian," tegas Said.

Pada kesempatan berbeda, Ketua Umum DPP KSPSI Jumhur Hidayat mengatakan bahwa, ada banyak cara yang bisa ditempuh pemerintah jika benar-benar ingin membantu rakyat memiliki rumah. Di antaranya pengadaan tanah murah, subsidi bunga dan skema tanpa uang muka, bahkan bisa juga mecarikan teknologi material yang bagus dan murah untuk perumahan. Bukan dengan menarik tabungan wajib dari pekerja yang justru akan menyulitkan perekonomian mereka. 
LihatTutupKomentar