- Pencemaran nama baik atau penyebaran berita bohong yang dilakukan oleh seseorang bisa langsung dituntut secara hukum. Namun bagaimana jika hoax disebarluaskan oleh media atau pers? Bagaimana cara mengajukan tuntutan?
Suarajatim.com - Pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong atau Hoax kerap terjadi di masyarakat, terutama di media sosial. Hal ini menimbulkan konflik dan kerugian yang berujung pada tuntutan pidana menggunakan UU ITE.
Lalu bagaimana jika berita bohong tersebut justru dilakukan oleh media? Kemana gugatan harus dilayangkan? Apakah pada media, penulisnya, atau justru ke narasumber berita? Berikut ulasannya.
Untuk menjawab hal di atas, kita dapat merujuk pada UU Pers yang merupakan payung hukum dari seluruh kegiatan dan produk pers. UU ini juga bisa mengecualikan berbagai ketentuan hukum yang umum, khusus bagi pers.
Berdasarkan SEMA 13/2008 serta Nota Kesepahaman Dewan Pers dan Polri maupun Nota Kesepahaman Dewan Pers dan Kejaksaan Agung, aparat penegak hukum Indonesia mengutamakan mekanisme penyelesaian di Dewan Pers dibanding secara pidana.
Langkah pertama yang bisa dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan adalah dengan menggunakan hak jawab, yakni memberi klarifikasi berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Pihak pers terkait harus mau menayangkan sanggahan tersebut dalam tempo secepatnya.
Sejalan dengan itu, pers juga memiliki hak koreksi, yakni memperbaiki kekeliruan informasi yang telah disebarluaskan.
Jika dua langkah tadi tidak berhasil, maka korban dapat melakukan pengaduan ke Dewan Pers.
Bedasarkan penuturan Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada yang juga merupakan Ahli Dewan Pers, Herlambang Perdana Wiratraman, mekanisme pengaduan akan ditanggapi dengan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi yang berisi saran penyelesaian. Ketentuan lebih lengkap tentang pengaduan ke Dewan Pers diatur dalam Peraturan Dewan Pers 01/2017.
Jika pengaduan ke Dewan Pers masih dirasa belum memuaskan, maka pihak yang merasa dirugikan bisa melanjutkan ka gugatan perdata. Meski menurut Herlambang hal ini jarang terjadi dikarenakan pengadilan sejauh ini mengikuti mekanisme Dewan Pers. Bahkan hingga saat ini berbagai upaya pemidanaan akibat produk pemberitaan pers hampir tidak pernah ditemukan di Indonesia dan dunia.
Herlambang menegaskan bahwa pasal-pasal UU ITE juga tidak dapat digunakan untul menuntut produk pers sebagai karya jurnalistik. Hal ini sudah tegas dan jelas diatur dalam UU Pers.
Lalu apakah narasumber bisa digugat? Putusan Kasasi MA No. 646 K/Pid.Sus/2019, pernah membebaskan narasumber berita yang didakwa atas penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE. Hal ini karena tindakannya tidak termasuk dalam pendistribusian berita.
Artinya, pernyataan narasumber yang disiarkan media elektronik tidak bisa membuatnya dijerat delik pencemaran nama baik atau penyebaran berita bohong.
Menurut Herlambang, hasil wawancara akan diolah menjadi berita sehingga hal tersebut termasuk karya jurnalistik yang akan kembali lagi diatur dalam UU Pers dan Dewan Pers.