- Paket Anda hilang di tangan ekspedisi? Anda tentu dapat menuntut ganti rugi akibat kelalaian perusahaan jasa pengiriman. Meski pada praktiknya perusahaan ekspedisi kerap membelok-belokkan aturan dan mengulur-ngulur penyelesaian hingga konsumen jadi pihak paling dirugikan. Lalu bagaimana sebenarnya kasus ini dalam Undang-Undang? Begini penjelasannya.
Suarajatim.com - Belanja online sudah jadi hal biasa di zaman sekarang. Setiap hari kurir dari berbagai ekspedisi lalu-lalang di jalan mengantarkan paket-paket pesanan dari penjual ke pembeli. Berbagai layanan ditawarkan, mulai dari besok sampai, sampai di hari yang sama, hingga pilihan ongkos kirim ekonomis, bisa dipilih sesuai kebutuhan konsumen.
Namun, berbelanja online memiliki resikonya tersendiri. Salah satunya jika barang yang dipesan hilang saat pengiriman. Jika harganya murah mungkin kebanyakan pembeli masih memaafkan, namun lain halnya kalau barang yang dikirim berharga tinggi, maka ini bakal jadi masalah besar. Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab atas hal ini?
Dikutip dari akun Instagram @pengacaramalang, Ismail Muzzaki selaku lawyer dan konsultan hukum mengatakan bahwa paket yang hilang merupakan tanggung jawab pihak ekspedisi yang notabene bertugas mengantarkan paket ke alamat tujuan.
"Ekspedisi harus bertanggung jawab walaupun tidak ada asuransi. Jadi jangan mau dibodohi (dengan dalih) ada syarat dan ketentuan diganti 10 kali lipat ongkir. Oh tidak bisa. Itu namanya klausul baku yang dilarang," kata Ismail dikutip Sabtu (6/4).
Secara hukum, pihak ekspedisi termasuk sebagai Perusahaan Angkutan Umum yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). "Perusahaan Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum."
Sedangkan konsumen yang memiliki hak menerima paket dilindungi oleh pasal 4 ayat (8) Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen), di mana konsumen memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Dalam konteks paket tidak diterima oleh konsumen, ini berarti ekspedisi lalai menjalankan kewajibannya. Hal ini diatur dalam Pasal 188 UU LLAJ yang berbunyi, "Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan."
Jika paket hilang karena ada unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan pekerja di ekspedisi tersbut, maka berlaku Pasal 191 UU LLAJ yang berbunyi, "Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan orang yang dipekerjakannya dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan".
Pada praktiknya, aturan-aturan baku tersebut kerap dibelok-belokkan sehingga konsumen menjadi pihak yanh paling dirugikan. Contohnya syarat dan ketentuan yang diberlakukan oleh perusahaan ekspedisi yang menyatakan jika paket hilang maka akan diganti 10 kali lipat ongkir untuk mengiriman dalam negeri dan maksimal 100 USD untuk pengiriman luar negeri.
Ketentuan yang dibuat-buat itu adalah bentuk penyimpangan dan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Karena dalam Pasal 18 huruf a UU Perlindungan Konsumen, dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
Lalu berapa sebenarnya biaya ganti rugi yang harus dikeluarkan oleh pihak ekspedisi jika terjadi kehilangan paket?
Berdasarkan Klausula Baku yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen juga dapat dijerat dengan Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara menyelesaikan sengketa terkait kasus pengiriman paket yang hilang tersebut?
Dikutip dari Kenny Wiston Law Office, konsumen yang dirugikan dapat menempuh jalur litigasi dan non litigasi.
Jalur non litigasi berarti, para pihak yang berselisih dapat melakukan kesepakatan damai terhadap kerugian-kerugian yang diderita konsumen. Untuk menempuh jalur ini, konsumen dapat mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Selain itu, ada jalur litigasi, di mana konsumen mengajukan somasi (teguran hukum) kepada pihak ekspedisi sesuai Pasal 1238 KUH Perdata yang berbunyi, "Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan."
Dalam somasi tersebut, pihak ekspedisi tetap diberikan kesempatan memberi solusi maupun ganti rugi. Namun jika tidak diindahkan, konsumen dapat mengajukan gugatan kembali berdasarkan Pasal 45 UU Perlindungan Konsumen.