- Tahun ajaran baru segera tiba. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk sekolah-sekolah negeri juga akan dibuka. Apakah tahun ini bakal banyak drama lagi seputar sistem zonasi?
Suarajatim.com - Sebentar lagi, siswa dan siswi di Indonesia akan memasuki tahun ajaran baru. Artinya, orang tua harus bersiap mencari sekolah bagi anak-anak mereka yang naik ke jenjang pendidikan baru.
Proses ini menjadi momok tersendiri bagi para orang tua yang mengincar sekolah tertentu untuk anak-anaknya. Apalagi bagi yang berencana mendaftar ke sekolah negeri, harus siap tarung dengan sistem zonasi.
Melalui akun Instagramnya, Cak Sholeh, yang merupakan seorang pengacara, membahas keresahan yang kerap dialami orang tua siswa yang mendaftar ke sekolah negeri.
"Yang selalu menjadi unek-unek kemarahan orang tua, adalah ketika anaknya cerdas tapi rumahnya jauh jadi kalah bersaing dengan anak yang tidak sepintar dia tapi rumahnya dekat dengan sekolah negeri," katanya di akun @sholeh_lawyer dikutip Minggu (21/4).
Memang, soal penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi ini terus menjadi polemik di setiap tahunnya. Ada saja kecurangan-kecurangan yang ditemukan. Tak sedikit anak-anak yang putus sekolah hanya karena di dekat rumahnya tidak ada sekolah negeri. Sedangkan untuk masuk ke sekolah swasta, harganya saat ini sudah selangit.
"Protes tiap tahun selalu didengungkan oleh orang tua, kenapa sistem zonasi masih diberlakukan padahal prasarana sekolahnya belum merata dan memadai," ujar Cak Sholeh.
Ia juga mengungkapkan bahwa rata-rata 20 tahun ke belakang, kabupaten dan kota tidak menambah sekolahan baru. Ini ironis, mengingat tiap tahun jumlah penduduk meningkat.
"Artinya persaingan makin ketat. Alokasi 100 siswa bisa diperebutkan oleh 5.000 siswa. Ini menurut saya yang luput dari perhatian pemerintah pusat," kata Cah Sholeh.
Sistem zonasi sendiri merupakan kebijakan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, yang diberlakukan sejak tahun 2017. Tujuannya adalah untuk meratakan kualitas pendidikan sehingga tidak ada lagi kasta sekolah unggulan dan tidak unggulan.
Namun pada praktiknya, tujuan tersebut belum bisa tercapai dengan sempurna. Salah satu sebabnya adalah sebaran sekolah negeri yang belum merata ke semua daerah terpencil.
Ditambah lagi sarana dan prasarana tiap sekolahnya belum merata. Ada sekolah negeri yang bangunannya bagus, luas, fasilitasnya memadai, namun masih banyak pula sekolah negeri yang tampilannya kumuh bahkan rusak. Kondisi ini membuat image "sekolah unggulan" dan "sekolah jelek" masih ada di masyarakat dan sulit dielakkan.
Anehnya, melihat kondisi ini, kenapa gubernur, bupati, walikota, seakan tidak berdaya. Padahal harusnya kepala daerah ini berani menjelaskan bahwa infrastruktur pendidikan di wilayahnya belum memadai.
"Kebanyakan sekolah SD, SMP, SMA ada di pusat kota. Kasihan siswa yang di pingiir kota, kompetisi jadi tidak sehat. Tidak menguntungkan bagi siswa-siswa yang rumahnya di pinggiran," kata advokat bernama lengkap Muhammad Sholeh itu.
Akhir kata, Cak Sholeh mengimbau agar masyarakat mau mendorong kepala daerahnya agar berani memberi masukan kepada Menteri terkait agar sistem zonasi tidak diberlakukan dulu sebelum sekolah-sekolah merata di banyak wilayah sehingga kompetisi menjadi sehat.