Foto oleh Nur Andi Ravsanjani Gusma: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-berdiri-di-trotoar-kelabu-saat-mengambil-foto-2059656/ |
Suarajatim.com - Profesi jurnalis memiliki peran penting dalam menjaga keberlangsungan suatu negara. Lembaga pers bukan hanya sebagai penyalur informasi, tetapi juga sebagai pengawas bagi kekuasaan.
Namun, saat ini profesi jurnalis menghadapi tantangan besar yang dapat mengancam stabilitas finansial dan karier mereka.
Sebuah penelitian yang dilakukan dari tahun 2020 hingga 2022 melibatkan 50 jurnalis dari berbagai latar belakang, mulai dari yang baru memasuki industri media hingga yang telah berpengalaman bertahun-tahun sebagai jurnalis. Hasilnya menunjukkan bahwa profesi jurnalis semakin rentan secara finansial dan semakin terindividualisasi.
Individualisasi ini mengarah pada isolasi jurnalis, di mana mereka cenderung fokus pada diri sendiri tanpa memperhatikan solidaritas kolektif dalam serikat pekerja. Dampaknya, masalah yang timbul dianggap sebagai masalah individu, padahal sebenarnya merupakan masalah struktural yang memerlukan solusi struktural.
Tidak mengherankan jika profesi jurnalis kini dianggap sebagai batu loncatan bagi generasi muda sebelum beralih ke industri lain yang menjanjikan stabilitas finansial yang lebih baik. Akibatnya, industri media kehilangan generasi jurnalis yang berkualitas.
Dilema-dilema Jurnalis di Era Digital
Studi terbaru tentang kondisi kerja dan kerentanan jurnalis di era digital Indonesia menemukan bahwa meskipun perkembangan teknologi digital membawa dampak positif, namun juga membuat kondisi kerja jurnalis semakin rentan.
Ada tiga dilema yang dihadapi para jurnalis saat ini.
Pertama, dilema terkait status dan hubungan kerja. Jurnalis tetap menyatakan bahwa kesejahteraan mereka terbatas, termasuk minimnya perhatian dari perusahaan media terhadap kesehatan mental dan ketidakdidaftarkan pada BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
Sementara itu, jurnalis lepas menemukan bahwa fleksibilitas dalam jam kerja mereka terbatas, terutama selama pandemi. Kondisi ini memberikan kesulitan dalam mencapai jaminan sosial dan jenjang karier di masa depan.
Kedua, dilema terhadap kondisi dan beban kerja. Beberapa jurnalis merasakan beban kerja yang dibagi antara target kuantitas dan beban kerja berbasis isu. Namun, sebagian besar media masih menekankan kuantitas berita harian atau mingguan. Hal ini dapat berujung pada eksploitasi jurnalis, misalnya karena target produksi yang tidak realistis.
Ketiga, kesulitan ini menjadikan jurnalisme sebagai profesi sementara bagi banyak orang. Meskipun menawarkan kesempatan untuk berjejaring, namun banyak jurnalis yang kemudian meninggalkan profesi ini untuk mencari pekerjaan yang lebih stabil.
Menyelesaikan Problem Struktural
Ketidakpastian dan kerentanan dalam profesi jurnalis tidak bisa dipisahkan dari konteks struktural dalam ekosistem media Indonesia. Diperlukan upaya struktural untuk mengatasi tantangan ini.
Regulator media dan pemerintah harus berperan dalam menciptakan jalan keluar yang dapat menjamin kesejahteraan jurnalis secara berkelanjutan. Diskusi lebih lanjut diperlukan untuk memetakan kondisi saat ini dan mencari solusi yang tepat. Dengan demikian, masa depan jurnalisme di Indonesia dapat terjamin dan terus berkembang tanpa kendala yang berkelanjutan.
Artikel sumber: TheConversation.com