Surabaya, Suarajatim.com - Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, mengungkapkan kekhawatiran terkait tingginya harga beras di Jawa Timur. Bahkan, harga beras di wilayah ini telah melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah. Menariknya, sepanjang periode September 2022 hingga September 2023, Jawa Timur memiliki surplus produksi padi sebesar 9,23 persen.
Menurut Khofifah, harga beras yang tinggi disebabkan oleh harga Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG) yang sudah melebihi HET saat tiba di penggilingan. Akibatnya, setelah diproses menjadi beras, harganya juga melebihi HET.
Selain itu, Gubernur Khofifah menjelaskan bahwa Jawa Timur memiliki potensi untuk memasok beras ke 16 provinsi di Indonesia Timur, kecuali Sulawesi Selatan. Namun, pada awal bulan September, Jawa Timur terpaksa harus memasok beras ke Sulawesi Selatan, Riau, dan Bangka Belitung.
Dr. Ir. David Hermawan, M.P., seorang ahli pertanian dan peternakan dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), juga mengonfirmasi bahwa produksi beras di Jawa Timur tidak hanya dimakan oleh penduduk setempat. "Tetapi juga dikonsumsi di daerah lain, bahkan sampai ke luar Jawa. Sebab hasil pertanian di provinsi lain juga kurang berhasil. Jadi jawaban atas kondisi saat ini adalah faktor pasokan dan permintaan," jelas David dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya.
Menurut David, fenomena ini juga terjadi di seluruh dunia. Sebagai contoh, ketika India, yang menguasai 40 persen pasar dunia, menghentikan ekspor beras, itu memberikan dampak besar pada negara lain. "Jadi, kembali lagi pada faktor pasokan dan permintaan," tambah David Hermawan.
Ia juga mencatat bahwa biaya produksi pertanian di Indonesia telah meningkat, salah satunya karena kenaikan harga pupuk. Hal ini berdampak pada kenaikan harga beras di pasar, yang diperkirakan akan naik hingga 50 persen pada pertengahan Oktober mendatang. "Jadi produktivitas harus ditingkatkan untuk memiliki margin. Ini bukan hanya tentang meningkatkan pasokan, tetapi juga margin. Selain itu, kita juga harus meningkatkan minat menanam padi," ungkapnya.
Dalam konteks ini, David mengusulkan agar peran Badan Urusan Logistik (Bulog) diubah kembali menjadi penyangga stok. Artinya, saat petani panen, Bulog harus membeli semua beras dengan harga yang tinggi dan menjualnya kepada masyarakat dengan harga yang lebih terjangkau. "Sayangnya, situasinya tidak seperti itu. Bulog kita malah membeli beras impor," tambahnya.
David menyatakan bahwa dalam situasi saat ini, Bulog harus turun tangan, karena Indonesia tidak dapat lagi bergantung pada negara lain. Selain itu, ia menyoroti pentingnya membangun sistem pangan yang kokoh dan tangguh, serta memilih seorang Menteri Pertanian yang kompeten dan memahami sektor pertanian.
Menurut pengecekan yang dilakukan David di lapangan, ada tanda-tanda inflasi yang tinggi, sehingga pemerintah perlu segera mengambil tindakan nyata untuk mengatasi masalah ini. "Jika terus menerus terjadi inflasi yang tinggi, bisa berujung pada stagflasi, bahkan krisis, yang akan memiliki dampak multidimensi karena ini adalah masalah mendasar," pungkasnya.(*)
Sumber: Suara Surabaya
Foto: Mongkon Duangkhiew https://www.pexels.com/id-id/foto/bidang-bekerja-pedesaan-pertanian-8703370/