- Presiden Joko Widodo mengundang beberapa ketua umum partai politik ke Istana Negara.
- Tindakannya dinilai tidak etis karena menggunakan jabatan dan fasilitas negara untuk aktivitas politik partisipan Pemilu 2024.
Jakarta, Suarajatim.com - Aksi Presiden Joko Widodo yang mengundang enam orang ketua umum partai politik di Istana Negara pada (2/5/2023) lalu masih menjadi sorotan.
Diketahui keenam pimpinan partai politik yang diundang antara lain; Ketum PDI Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri, Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PAN Zulkifli Hasan, Ketum PKB Muhaimin Iskandar dan Plt Ketua Umum PPP Muhammad Mardiono.
Prabowo menjelaskan bahwa hal yang dibahas dalam pertemuan itu adalah seputar dinamika politik dan imbauan agar semua parpol bisa kompak mendukung siapapun pilihan rakyat pada pilpres nanti.
Namun banyak masyarakat yang curiga bahwa pertemuan itu untuk melancarkan rencana dan strategi koalisi terkait Pilpres 2024 mendatang. Terlebih Jokowi sempat mengatakan bahwa dirinya tidak mengundang NasDem karena telah memiliki koalisi dan capres yang berbeda. Ini semakin membuat masyarakat yakin bahwa Jokowi tidak netral dan berpihak.
Di hadapan wartawan, Presiden Jokowi menegaskan bahwa tidak ada konstitusi yang dilanggar saat dirinya mengundang enam ketum parpol pendukung pemerintah ke Istana.
"Dalam politik itu wajar-wajar saja. Biasa. Saya itu pejabat publik sekaligus pejabat politik. Jadi kalau saya bicara politik ya boleh dong. Saya bicara tentang pelayanan publik juga bisa dong," kata Presiden Joko Widodo pada 4 Mei 2023 di Sarinah, Jakarta Pusat.
Hal ini memantik tanggapan miring dari berbagai pihak, termasuk diantaranya Titi Anggraini, selaku peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
"Harus diingat bahwa presiden itu adalah panutan politik bagi jabatan-jabatan publik lainnya. Kalau kemudian presiden melakukan tindakan poltik partisan dengan menggunakan fasilitas negara, fasilitas jabatan, di waktu-waktu kerja, ini akan jadi pembenaran bagi jabatan-jabatan publik lain," kata Titi.
Menurut Titi, tindakan Jokowi bisa membuat gubernur, bupati, wali kota, atau para pemangku jabatan lainnya, menggunakan rumah dinas untuk konsolidasi, pencalonan, dan pemenangan tokoh-tokoh politik tertentu di pilkada 2024 mendatang.
"Kalau hal itu sampai terjadi, maka kita tidak lagi punya kompetisi yang adil dan setara, karena pejabat publik menggunakan jabatannya melalui fasilitas dan segala kewenangan yang ada padanya untuk melakukan aktivitas politik partisan," ujarnya.
Lebih lanjut Titi mengatakan bahwa sebagai individu politik, wajar jika presiden punya preferensinya sendiri. Tapi tetap saja harus memperhatikan etika politik dan hukum, serta paham kapan kegiatan tersebut boleh dilakukan.
"Politik tidak salah meng-endorse. Tapi ini kan soal kapan, dimana, dan dilakukan dalam konteks apa. Memang dalam aturan dibolehkan presiden dan wakil presiden berkampanye. Tapi ada aturan mainnya, seperti dilakukan saat cuti, tidak memanfaatkan fasilitas jabatan dan negara," pungkas Titi.