Jakarta, Suarajatim.com - Terdapat potensi perbedaan dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri di antara dua aliran besar umat Islam di Indonesia. Namun, menghadapi perbedaan pandangan ini, Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, menegaskan bahwa agama adalah masalah keyakinan dan harus dihormati perbedaannya.
"Khususnya dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri, ada dua metode yang berbeda, yaitu wujudul hilal dan rukyatul hilal. Oleh karena itu, kita harus mengembalikan pada keyakinan masing-masing dan tidak mempertajam perbedaan tersebut. Semua harus bijak demi terciptanya ukhuwah Islamiyah," ujar KH Chriswanto Santoso.
Menurut DPP LDII, perbedaan metode untuk menentukan awal Ramadan atau Syawal adalah hal yang wajar. Setiap ormas Islam berhak menentukan metode mana yang digunakan untuk menentukan hilal.
"Perbedaan metode dalam menentukan bulan baru memang wajar. Wujudul hilal menggunakan hisab penanggalan, sedangkan rukyatul hilal tidak bisa meninggalkan hisab. Sebenarnya, penentuan harus dihisab terlebih dahulu, lalu keputusan akhirnya berdasarkan hisab atau rukyah," jelas Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, saat berbicara dengan awak media dalam acara gathering di Kantor DPP LDII, Jakarta, pada hari Senin, 17 April.
Ormas Islam dapat menggunakan dua metode dalam menentukan hilal, namun LDII lebih memilih menggunakan metode rukyatul hilal. LDII telah lama mengikuti pemerintah dalam menentukan bulan baru, karena metode ini sama dengan rukyatul hilal.
LDII menghargai penggunaan metode hisab dan rukyatul hilal dalam menentukan hilal, bahkan meski berkeyakinan dengan metode rukyatul hilal, LDII tetap menghormati umat yang menggunakan metode hisab.
LDII secara institusi memegang teguh penggunaan metode rukyatul hilal, tetapi tetap menghargai pilihan yang berbeda berdasarkan keyakinan masing-masing.
"Meskipun menggunakan metode rukyat, masih terdapat perbedaan di antara pengamat tentang batas minimal derajat ketinggian hilal. Bahkan, kesepakatan MABIMS sendiri menetapkan batas minimal di atas 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat karena hilal yang berada di bawah 3 derajat sulit terlihat dan membutuhkan bantuan teropong," papar KH Chriswanto.
LDII sendiri telah melakukan pelatihan secara nasional untuk memenuhi standar tersebut dan memiliki banyak pengamat yang siap mengamati hilal di titik-titik pengamatan yang telah ditentukan.
Selain itu, LDII juga sering melakukan pelatihan hisab rukyat untuk memperdalam pemahaman tentang perbedaan-perbedaan tersebut.
KH Chriwanto mengajak untuk tidak memperkeruh suasana, bagi yang berpuasa 29 hari sebaiknya tidak mencela orang yang berpuasa 30 hari dan begitu juga sebaliknya.
"Perbedaan ini adalah bagian dari keyakinan masing-masing umat dan tidak sepatutnya dijadikan bahan perdebatan yang hanya akan memunculkan kesalahpahaman dan konflik. Jangan sampai memperbesar perbedaan yang bersifat kecil dan egoistis, karena hal tersebut dapat merugikan umat secara keseluruhan," pungkasnya.