- Menkes Budi Gunadi Sadikin merasa gagal menjadi menteri lantaran masih banyak masyarakat Indonesia yang lebih memilih berobat ke Malaysia.
- Ia juga menuturkan bahwa Indonesia masih jauh tertinggal dari segi teknologi medis dibanding Malaysia, Vietnam, dan Myanmar.
Suarajatim.com - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin curhat di kanal YouTube Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia, Rabu (1/3). Ia mengaku malu melihat fenomena banyaknya pasien Indonesia yang lebih memilih berobat di Malaysia ketimbang di negaranya sendiri.
"Aku sih mohon maaf agak gengsi juga kita dibawa ke Malaysia, itu gengsi. Jadi Menteri Kesehatan itu kayaknya kita gagal juga," kata Budi.
Hal itu ia sampaikan pasca berbincang dengan salah satu orang tua pasien berinisial M, penderita penyakit langka Maple syrup urine disease (MSUD), asal Batam, Kepulauan Riau yang sempat berobat di Malaysia.
Budi juga menyampaikan bahwa dirinya malu Indonesia baru melakukan lima kali transplantasi sumsum tulang atau bone marrow transplant (BMT), sementara Malaysia sudah melakukan ratusan kali.
"Malaysia sudah berapa ratus, Vietnam berapa puluh, Myanmar aja delapan, kita malu gitu. Padahal buat penyakit leukemia kan harusnya bone marrow yang dilakukan. Menkesnya malu kalau ketemu sama Menkes Myanmar saja kalah," kata dia.
Untuk itu, Budi mengambil langkah dengan membangun national bioinformatic untuk human genome sequence agar peneliti Indonesia bisa mengidentifikasi jenis-jenis penyakit baru ataupun langka. Selain itu alat diagnostik kesehatan seperti GCMS juga akan didatangkan. Disamping pembenahan registry pasien juga turut dilakukan.
Lalu, sebenarnya apa yang menyebabkan masyarakat Indonesia lebih memilih berobat ke Malaysia dibanding di Indonesia?
Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Seluruh Indonesia (ARSSI), Ichsan Hanafi menuturkan bahwa sistem kesehatan Indonesia perlu mendapat pembenahan. Pemerintah perlu melakukan gebrakan kebijakan terkait dengan obat dan alat. Di Malaysia biaya pengobatan bisa lebih murah hingga setengah dari biaya berobat di Indonesia lantaran adanya pembebasan pajak. Di Penang Malaysia misalnya, pajak alat kesehatan 0%. Jadi, manajemen rumah sakit dapat menekan biaya pelayanan. Sementara di Indonesia banyak rumah sakit swasta takut membeli teknologi lantaran pajaknya tinggi.
"Mereka bisa lebih murah, banyak yang harus kita perbaiki. Memang di sana mungkin sistem dokter full time, stay dari pagi sampai sore, kita dari aspek waktu bisa 3 tempat. Kemudian Aspek pajak untuk alkes, alkes di sana mungkin lebih murah dinolkan. Di sini cukup mahal, obat-obatan juga gitu, faktor itu pengaruhi struktur tarif dari RS yang ada di kita," kata Ichsan pada Rabu (10/8/22), dikutip dari CNBC Indonesia.
Hal senada juga disampaikan oleh Operation Director Syntech, dr Candrati Sukardji. Ia mengatakan bahwa fenomena orang Indonesia berobat ke Penang, Johor, Malaka sudah terjadi sejak 2017. Mereka bahkan rela mengeluarkan budget ratusan juta untuk pengobatan di sana. Menurutnya, rumah sakit di Malaysia memiliki hospitality yang tinggi. Selain seluruh lapisan rumah sakit ramah dalam melayani pasien, juga disediakan layanan gratis penjemputan dari bandara serta pendampingan pasien.
"Hal lain yang membuat pasien Indonesia tertarik berobat ke Malaysia adalah service. Jadi, pasien datang ke Penang, KL, atau Malaysia kan sudah direncanakan, jadi ada penjemputan. Lalu ada yang ada mendampingi pasien selama di rumah sakit, ada yang assist mereka," kata dr Candrati.
Tentu selain itu adalah kecanggihan teknologi dan jaminan ketersediaan dokter. Sehingga pasien bisa mendapatkan diagnosis dan hasil pemeriksaan yang cepat tanpa harus bolak-balik ke rumah sakit.
"Yang pasien inginkan adalah penjelasan dari dokter yang clear akan sakitnya tersebut," tambah dr Candrati.
Fenomena ini tentu menjadi PR besar bagi negara kita. Perlu adanya pemetaan kesenjangan kompetensi sumber daya manusia dengan mancanegara. Sehingga Indonesia bisa sesegera mungkin mengejar ketertinggalan.