- Masih banyak masyarakat yang mengangap bahwa mengambil gambar atau merekam seseorang tanpa izin merupakan sesuatu hal yang sepele. Padahal ini bisa berbuntut pidana, seperti apa aturan hukumnya?
Suarajatim.com - Guru Besar Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Indriyanto Seno Adji, menjelaskan bahwa bisa tidaknya pelaku perekaman atau pemotretan tanpa izin dipidana, tergantung pada kasusnya.
"Apabila rekaman video tersebut kemudian disebar atau diviralkan tanpa izin yang bersangkutan tentu ini dapat dikenakan pidana. Dengan catatan, konten video tersebut mengandung dugaan pelanggaran atas penghinaan atau pencemaran nama baik, pengancaman, penyebaran berita bohong, sara, kesusilaan, dan sebagainya," kata Indriyanto, dilansir kompas.com Sabtu (21/1/2023).
Hal tersebut diatur pada pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Ancaman pidananya diatur pada pasal 45 ayat (3) UU ITE yang berbunyi: "Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)."
Hasil foto atau video yang disebarkan tanpa izin dengan unsur pelanggaran privasi dan pencemaran nama baik dapat dijadikan alat bukti untuk melaporkan pelaku kepada pihak berwajib. Hal ini diatur dalam pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE, dimana dokumen elektronik yang telah dicetak merupakan alat bukti hukum yang diakui secara sah.
Merujuk pada UU Hak Cipta, foto yang menampilkan gambar manusia dikategorikan sebagai karya fotografi dengan objek manusia. Orang yang mengambil gambar/memfoto seseorang dapat disebut sebagai pencipta yang memiliki hak cipta atau hak eksklusif untuk memperbanyak, mempublikasi, dan mengubah karyanya tersebut, serta melarang orang lain melakukan tindakan tersebut tanpa seizinnya.
Namun, terdapat batasan penggunaan hak cipta atas suatu potret. Artinya, orang yang mengambil potret harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari orang yang dipotret. Hal ini tercantum pada pasal 12 ayat (1) UU Hak Cipta yang menjelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan penggunaan secara komersial, penggandaan, pengumuman, pendistribusian, dan/atau komunikasi atas potret yang dibuatnya guna kepentingan reklame atau periklanan secara komersial tanpa persetujuan tertulis dari orang yang dipotret atau ahli warisnya. Bila dilanggar, pelaku dapat dijerat pidana denda paling banyak Rp500 juta.