- Sejumlah pihak memproyeksikan bahwa dunia akan memasuki resesi global. Banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari fluktuasi harga energi, kenaikan harga pangan, perang, hingga perubahan geopolitik. Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) memberikan tips dan analisis:
Bhima Yudhistira
Suarajatim.com - Masyarakat harus mulai bersiap untuk menghadapi resesi global di tahun 2023. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah mulai melakukan investasi agar asset yang sudah mereka miliki tidak tergerus oleh inflasi. Kredit untuk konsumsi juga harus mulai dikurangi karena besaran bunga pinjaman akan semakin naik.
Di situasi ini, pemerintah juga akan bekerja keras karena biaya subsidi dan pembiayaan sosial akan semakin meningkat. Bila di awal tahun neraca perdagangan kita cukup positif karena adana booming komoditas, maka hal ini mungkin tidak akan terulang lagi di tahun 2023.
Komoditi Anti Resesi, Kemilau Investasi Emas Di Tengah Redupnya Ekonomi
Beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan paket kebijakan baru untuk antisipasi resesi seperti penurunan pajak, stabilitas rupiah melalui devisa hasil ekspor, dan anggaran perlindungan sosial
Petikan wawancara:
Sejumlah pihak memproyeksikan kondisi perekonomian global tahun 2023 cukup suram karena resesi. Apa itu resesi dan mengapa perekonomian dunia akan mengalami resesi?
Bicara soal resesi ekonomi, secara sederhana adalah kondisi ekonomi suatu negara yang mengalami penurunan atau perlambatan selama dua kuartal atau lebih. Jadi bila kita bayangkan Indonesia tumbuh 5%, kemudian kuartal berikutnya tumbuh 4,5%, dan kuartal selanjutnya hanya 4%, asumsinya itu sudah masuk resesi ekonomi. Seperti di tahun 2020, ekonomi kita hanya tumbuh negatif 2%, ini sudah masuk dalam krisis. Bila negatif, itu sudah krisis ekonomi, sedangkan bila hanya lambat selama dua kuartal berturut-turut, maka itu resesi ekonomi.
Nah situasi sekarang lebih rumit dibandingkan situasi 1998 dan 2008. Di tahun 1998, pemicunya adalah krisis moneter di kawasan regional Asia, mulai dari Asia Timur hingga Asia Tenggara. Sedangkan 2008, pemicunya adalah krisis surat utang di Amerika Serikat. Situasi sekarang ada perang, krisis pangan, krisis energi karena harga minyak yang naik turun. Kemudian ditambah dengan krisis lingkungan. Kemudian ada juga krisis yang saya kira cukup berbahaya yaitu krisis geopolitik. Jadi tidak harus perang, tetapi geopolitik yang berubah. Misalnya Cina dengan Taiwan, efeknya langsung terasa ke Indonesia.
Banyak yang bilang bahwa resesi ini lebih mirip dengan kondisi tahun 70-an, dibandingkan 1998 dan 2008. Jadi kalau dibilang global dan suram, ya memang suram karena tidak ada satu negara pun yang aman dari resesi.
Lalu apa yang akan dirasakan oleh masyarakat ketika suatu negara sedang mengalami resesi?
Dengan resesi, mencari kerja akan menjadi susah, karena perusahaan akan melakukan pengetatan atau efisiensi. Mungkin tidak melakukan PHK, tetapi rekrutmen tenaga kerja barunya agak sedikit menurun. Kemudian yang kedua adalah harga-harga barang atau biaya kehidupan meningkat cukup signifikan.
Contoh paling ekstrim adalah Sri Lanka, yang dimulai dari inflasi dan hiperinflasi. Artinya, harga-harga barang mengalami kenaikan cukup signifikan dan tidak berbanding lurus dengan naiknya pendapatan. Misalnya inflasi 6%, tetapi gaji saya naiknya 10%, maka tidak akan ada masalah. Akan timbul masalah bila inflasi 6%, tetapi rata-rata pendapatan atau upah minimum itu naiknya hanya 1%. Berarti daya belinya minus lima persen.
Kemudian, inflasi yang tinggi dan resesi itu memicu kenaikan suku bunga. Dan ini sudah terjadi. Bagi masyarakat yang membeli sepeda motor, maka cicilannya jadi lebih mahal. Pembelian rumah atau properti melalui kredit perumahan atau KPR, bunganya juga akan mengalami penyesuaian. Untuk pinjaman modal kerja kecuali Kredit Usaha Rakyat (KUR), bunganya mengalami penyesuaian. Naik 1-2% cukup lumayan.
Sebagai bagian dari ekonomi global, Indonesia tentu saja bisa terseret masuk ke jurang resesi. Apakah negara kita akan masuk ke dalam resesi ekonomi pada tahun depan?
Dari survey yang dilakukan oleh Bloomberg terhadap para pelaku pasar keuangan, probabilitas Indonesia masuk resesi memang relatif kecil. Ada tapi kecil. Bukan berarti tidak ada sama sekali, yaitu hanya 3%. Ini terendah dibandingkan negara-negara di kawasan Asia. Yang menjadi pertanyaan, kondisi dinamika Indonesia sekarang ini diuntungkan karena kita menjadi eksportir bahan baku mentah, eksportir komoditas. Eropa krisis energi, harga komoditasnya menjadi tinggi. Batu bara dan sawit, di satu semester kemarin menyumbang surplus perdagangan.
Nah, yang terjadi nanti kalau resesi, produsen-produsen industri pengolahan di negara maju akan mengerem produksinya. Dan ini akan berpengaruh pada permintaan bahan baku ekspor dari Indonesia. Di titik itulah yang disebut moderasi atau pembalikan arah harga-harga komoditas ekspor, dan itu akan menekan neraca kita. Dan juga pendapatan dan pertumbuhan ekonominya bisa berubah secara drastis. Nah ini tidak enaknya kondisi negara yang bergantung dari naik turunnya harga komoditas. Jadi disebut sebagai jebakan komoditas. Kalau lagi naik, akan kaya mendadak. Sedangkan saat harga komoditasnya jatuh, bisa langsung terjadi krisis.
Yang kedua ini bergantung juga dari konsumsi domestik. Konsumsi domestik menyumbang 56% dari total ekonomi kita. Jadi konsumsi domestik ini akan menentukan. Masalahnya, sekarang masih terdampak oleh kenaikan harga BBM dan pajak. Kemarin tarif PPN naik dari 10% menjadi 11%. Ini akan berimbas sampai tahun depan, dan akan terasa dengan naiknya harga pangan. Inflasinya sempat mencapai double digit.
Bagaimana kondisi fundamental ekonomi kita agar tidak masuk ke jurang resesi ekonomi pada tahun depan?
Saya kira masih ada risiko. Probabilitas kita masuk ke dalam resesi ekonomi secara global ada. Jadi kita tidak boleh lengah.
Secara fundamental apakah masih cukup baik?
Secara fundamental, jauh lebih baik daripada 1998 dan 2008. Tapi memang ada beberapa yang harus diperbaiki, terutama cadangan devisa.
Seandainya skenario terburuk Indonesia masuk ke dalam resesi ekonomi. Apa dampaknya pada pemerintah ?
Efek dari pemerintah, tentunya belanja untuk biaya subsidi dan perlindungan sosia akan jauh lebih mahal dan lebih besar. Sementara tahun depan, sudah tidak ada lagi kemewahan untuk bisa melebarkan defisit anggaran. Defisit APBN harus tunduk di bawah 3%. Jadi itu suatu polemik bagi pemerintah.
Berikutnya adalah efeknya terhadap beban hutang. Pembiayaan terhadap krisis tahun 2020 yang menghabiskan 1000 Triliun rupiah, sebagian besar didanai dari pinjaman baru. Kalau terjadi resesi lagi dan harus ada upaya penyelamatan ekonomi, mungkin angkanya tidak sebesar pembiayaan pandemi. Kita belum tahu, tapi pembiayaan itu akan diperoleh dari mana? Tidak mungkin menerapkan pajak ke masyarakat. Pajak dinaikkan di tengah kondisi ekonomi lemah, ujungnya adalah tambahan hutang. Ini punya konsekuensi jangka panjang terhadap beban bunga hutang, yang sekarang sudah mencapai lebih dari 400 Triliun per tahun.
Lalu apa konsekuensinya terhadap dunia usaha?
Sekarang saja sebenarnya sudah ada tanda-tanda pada perusahaan startup. Ini aneh. Pada saat terjadi krisis resesi 2020 karena pandemi, harapannya adalah pada digitalisasi, startup-startup berkembang. Nah sekarang startup nya saja tidak lebih baik dari pada perusahaan tradisional. Startup banyak merumahkan karyawan, kemudian juga melakukan efisiensi di berbagai lini. Bahkan ada yang tutup permanen. Jadi kedepan, gelombang PHK massal yang menekan perusahaan ini akan meningkat.
Ketika Indonesia mengalami resesi ekonomi, apa yang akan dirasakan masyarakat biasa atau kaum pekerja? Apakah semakin banyak orang yang miskin atau tidak punya pekerjaan?
Ketidakpastian kerja akan meningkat. Ada empat juta angkatan kerja baru, sementara serapan tenaga kerjanya tidak bisa mengimbangi itu. Terutama di sektor industri pengolahan, porsinya terus mengalami penurunan.
Kemudian yang kedua, banyak yang sebelumnya mengandalkan pertanian maupun pertambangan karena ada booming komoditas, mungkin sekarang sedang mencari pekerjaan. Karena di sektor-sektor yang booming tersebut, pekerjaan semakin terbatas.
Dan berikutnya lagi, masyarakat juga akan merasakan dampak secara langsung terutama angka kemiskinan. Sekarang ini, Indonesia mempunyai 115 juta orang kelas menengah rentan. Ini bukan golongan miskin. Tapi sekalinya terjadi bencana, termasuk bencana finansial. mereka akan turun kelas menjadi orang miskin baru.
Orang miskin baru di Indonesia akan bertambah?
Ya, pertambahan tingkat kemiskinan bisa mencapai 10,5%.
Jadi langkah apa yang harus diambil pemerintah untuk menghadapi ancaman resesi pada tahun depan?
Pertama, pemerintah harus mengubah konsep dari stimulus pada waktu pandemi. Sekarang perlu modifikasi stimulus atau paket kebijakan baru untuk antisipasi resesi. Nah ini yang sekarang belum disiapkan. Masih ada waktu.
Kemudian apa isi stimulusnya. Satu, relaksasi pajak. Jadi PPN itu bukan terus dinaikkan tapi diturunkan lagi, misalnya menjadi 8%. Sehingga masyarakat bisa semangat untuk berbelanja, terutama kelas menengah keatas.
Kemudian yang berikutnya adalah stabilitas rupiah melalui devisa hasil ekspor. Dalam kondisi rupiah mengalami kelemahan cukup dalam, harus ada kebijakan pengendalian modal atau capital control. Memang devisa hasil ekspor wajib dikonversi dan ditahan di perbankan dalam negeri minimum enam sampai sembilan bulan. Itu untuk mencegah larinya devisa ke luar negeri.
Dan yang terakhir tentunya anggaran perlindungan sosial. Kita minta pemerintah agar anggaran perlindungan sosial jangan hanya memperhatikan yang sudah miskin. Melalui bansos-bansos, yang rentan miskin ini pun juga harus dicegah jangan jadi orang miskin baru..
Lalu apa yang sebaiknya harus disiapkan oleh masyarakat untuk menghadapi adanya ancaman resesi ekonomi pada tahun 2023?
Masyarakat harus mulai bersiap-siap. Bukan dalam rangka panik, tapi mempersiapkan yang terbaik. Misalnya mulai dari menyiapkan dana darurat. Kemudian yang kedua adalah menyiapkan sisa dari pendapatan untuk diinvestasikan, sehingga asetnya tidak tergerus oleh inflasi. Yang ketiga, mencari pendapatan sampingan sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber. Jadi tidak bisa mengandalkan pendapatan dari satu sumber utama. Ini juga untuk mengantisipasi bahwa kenaikan gaji itu tidak bisa mengimbangi naiknya harga-harga barang.
Dan yang terakhir, kalau yang menengah atas kita dorong untuk belanja karena uangnya masih ada. Sedangkan untuk yang menengah bawah, jangan tergiur dengan iklan. Mereka justru harus bisa mengendalikan gaya hidup. Sehingga hidup sederhana itu nanti akan menyelamatkan dari tekanan biaya hidup yang naik di tahun 2023.
Kelas menengah kita banyak yang mempunyai cicilan atau hutang. Bagaimana pengaruh resesi ekonomi terhadap cicilan kredit?
Tentunya untuk yang sedang mencicil, sebisa mungkin mempercepat pelunasan. Misalnya, percepatan pelunasan bisa dilakukan sebelum bunga kedepan semakin mahal. Sementara yang baru mau mengambil cicilan, salah satu triknya adalah mungkin bisa mempertimbangkan cicilan syariah. Cicilan konvensional berbunga, sedangkan cicilan KPR syariah tidak berbunga. Cicilannya bisa lebih tetap dalam jangka panjang. Jadi bisa menghindari fluktuasi naik turunnya suku bunga pinjaman.
Jadi, yang penting adalah ketika sebelum melakukan pengajuan kredit. perlu dipahami bahwa apapun itu kreditnya, kedepan bunga itu akan semakin mahal, semakin naik. Jadi kalau tidak butuh sekali, terutama kredit konsumsi sebaiknya ditunda dulu. Kalau perlu, lebih baik mencicil dengan menabung sendiri. Uangnya sudah terkumpul, baru membelikan barang. Dibandingkan memaksa sehingga nanti terjebak pinjaman macet.
Apakah dalam keadaan resesi ekonomi, rakyat yang mempunyai cicilan itu bisa meminta keringanan bunga kepada pihak pemberi pinjaman seperti bank?
Fasilitas restrukturisasi atau relaksasi pinjaman sebenarnya ada, sampai dengan Maret 2023. Tapi tergantung dari perbankannya, lembaga keuangannya, atau lembaga pembiayaannya. Apakah mereka mau memberikan, dan kriterianya seperti apa. Masalahnya adalah, berhentinya di Maret 2023. Jadi banyak perbankan sekarang ini menyelesaikan restrukturisasi sebelumnya. Sebelum dia membuka restrukturisasi pinjaman yang baru, karena tahun depan sudah selesai. Nah, jadi ini mungkin yang menjadi salah satu dilema. Kecuali nanti ada perpanjangan dari OJK. Rencana untuk perpanjangan restrukturisasi dibuka lagi untuk mereka yang terdampak dari resesi ekonomi global. Bisa jadi mereka mendapatkan fasilitas restrukturisasi pinjaman atau negosiasi ulang pembayaran bunga dan cicilan.
Di tengah-tengah ancaman resesi, sektor usaha apa yang bisa bertahan di masa sekarang ini?
Kriterianya adalah satu usaha yang bahan baku impornya itu kecil. Yang kedua, usaha yang orientasi pasarnya lebih banyak domestik atau dalam negeri. Ini bisa survive. Yang menarik, dari setiap resesi, muncul fenomena beauty product atau produk-produk kecantikan. Perawatan tubuh itu justru penjualan naik tinggi.
Yang berikutnya lagi, ada sebagian segmen rekreasi. Mungkin karena pekerja juga ditekan perusahaan, gaji tidak naik misalnya, itu mereka beralih kepada rekreasi. Kemudian muncul juga bisnis terkait dengan konsultasi psikologi, mental health. Ada juga bisnis terkait pengelolaan keuangan. Itu yang kemudian juga cukup ramai, cukup booming pada saat terjadinya tekanan ekonomi.
Kalau tidak mau melakukan usaha tetapi mau melakukan investasi, dimana dana investasi tersebut harus kita tempatkan untuk bisa menghasilkan keuntungan sehingga bisa bertahan dari resesi?
Ada investasi yang orientasi jangka panjang, itu untuk menyiapkan pendidikan anak. Tapi kalau bicara soal resesi, yang penting adalah investasinya bisa menyelamatkan aset. Imbal hasilnya di atas inflasi. Salah satu yang menarik adalah pasar uang, yaitu valas dollar. Karena dollar apresiasinya luar biasa.
Kemudian yang kedua, terkait dengan reksadana pendapatan tetap. Ada yang mirip-mirip dengan inflasi dan masih untung tipis. Misalnya yaitu membeli surat utang pemerintah. Kemudian ada lagi reksadana saham. Kalau manajer investasinya jago, dia bisa mematahkan risiko, kemudian profit emiten yang mana. Reksadana saham masih banyak pendapatannya atau return imbal hasilnya di atas dari 6%.
Nah yang terakhir, ada juga yang orientasinya; “Ah saya sih tidak ingin hanya sekarang, tapi ingin melihat jangka panjang. Nah sekarang waktu yang tepat untuk beli emas. Emas batangan itu harganya sekarang sedang turun, karena orang beralih ke dolar. Tapi kalau orientasinya 10-20 tahun, bisa jadi emas batangan yang menang.