- Nama Puan Maharani digadang-gadang akan melaju di pilpres 2024 mendatang. Meski terbukti memiliki elektabilitas yang rendah, dan malah kerap dijadikan bahan olokan di media sosial, toh nyatanya PDIP begitu percaya diri mengusungnya.
Suarajatim.com - Gerak-gerik pencalonan Puan Maharani sebagai kandidat di pemilihan presiden (pilpres) dari Partai PDIP sudah terendus sejak 2011, dan makin nyata mendekati tahun 2024. Padahal nama Puan tidak dijagokan berbagai pihak karena elektabilitasnya rendah. Terlebih setelah ia ditimpa berbagai isu yang malah semakin menimbulkan sinisme masyarakat.
Meski begitu, PDIP seakan ngotot ingin mengusung Puan Maharani di Pilpres 2024. Banyak yang bingung, partai sebesar dan sekuat PDIP tidak mungkin jika tak memiliki kalkulasi rasional.
Pengamat sosial politik Rudi S Kamri turut angkat suara terkait hal ini melalui kanal Youtube-nya. Ia merasa aneh mengapa PDIP malah ngotot mencalonkan Puan Maharani yang elektabilitasnya hanya 1%, bukannya Ganjar Pranowo yang jauh lebih tinggi yakni sekitar 30%. Alih-alih mendapat dukungan, Ganjar malah seolah dikucilkan dan di-bully oleh para petinggi PDIP.
"Elite-elite PDIP di DPR malah membentuk Dewan Kolonel untuk mewangikan nama Puan Maharani sebagai kandidat capres PDIP pada Pilpres 2024 nanti. Ini malah membuat ngakak," kata Rudi yang juga merupakan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB) .
Diketahui Dewan Kolonel yang dimaksud diinisiasi pembentukannya oleh Johan Budi, mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mantan Juru Bicara Kepresidenan yang kini menjadi anggota Kimisi III DPR RI dari PDIP.
Adapun Koordinator dari Dewan Kolonel adalah Trimedya Panjaitan, politisi senior PDIP. Sedangkan posisi Dewan Jenderal dipegang oleh Ketua Fraksi PDIP Utut Adianto, dan Sekretaris Fraksi PDIP Bambang Wuryanto yang juga Ketua Komisi III DPR RI.
"Saya mohon pada elit-elit PDIP untuk realistis. Previlege yang dimiliki Puan Maharani itu bukan golden ticket dia pasti didukung rakyat. Kenyataannya elektabilitas Puan Maharani selalu di level dasar. Itu fakta. Karena apa? Rakyat tidak bodoh. Rakyat tahu persis mana emas mana loyang," kata Rudi.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa, Puan Maharani menjadi menteri dan ketua DPR karena previlege nya sebagai puteri mahkota dari Megawati Soekarnoputri. Cucu dari Bung karno.
Rudi juga menyinggung ketidaksetujuannya perihal dugaan masyarakat bahwa Ganjar Pranowo sengaja dibuat terlihat dizolimi agar mendapat empati masyarakat sehingga elektabilitasnya naik. Karena hal ini justru malah akan merugikan Ganjar seperti halnya yang terjadi pada Ahok yang gagal pada pilgub 2017 akibat baru mendapat dukungan dari partai di detik-detik terakhir menuju pemungutan suara.
"PDIP harus jadi partai yang modern bukan partai dinasti. Sekarang rakyat tidak hanya bisa manut seperti zaman Order Baru. Semua sudah berubah. Maka PDIP jangan ke-PD-an dan harus realistis," pungkasnya.
Sebenarnya capres kontroversial yang maju di pilpres bukanlah hal yang baru di Indonesia. Jika melihat ke belakang, nama Wiranto juga begitu kontroversial saat jadi Panglima TNI di era Orde Baru, namun ia berhasil maju di Pilpres 2004 dan 2009.
Hal yang sama pun terjadi pada Prabowo yang merupakan sosok kontroversial terkait pelanggaran HAM di era Orde Baru saat dirinya menjabat sebagai Danjen Kopassus, namun tetap bisa melaju di pemilihan presiden.
Dilihat dari bagaimana mekanisme pencalonan presiden yang bergantung pada partai politik, rasa-rasanya suara rakyat hanya menjadi pelengkap. Ketika capres sudah diusung, tinggal pilih cawapres yang potensial. Setelahnya, beragam strategi kampanye akan dilakukan untuk mendongkrak elektabilitas. Kalau sudah begini, rakyat seakan hanya ditempatkan di kursi penonton, untuk menyaksikan sebuah sandiwara.