Sumber gambar: Pexel/IG @janrunereite
Suarajatim.com - Harga minyak dunia (Brent) mencapai angka USD 95/bbl bulan Februari 2022. Ini merupakan harga tertinggi sejak Oktober 2014. Perkiraan banyak orang bahwa harga minyak dunia tidak akan pernah lagi mencapai USD 90/bbl buyar sudah. Pandemi covid19 juga tidak terbukti menurunkan kebutuhan dunia akan minyak bumi. Bahkan tahun 2022 ini demand minyak diperkirakan lebih tinggi dari sebelum pandemi.
Kenapa harga minyak bisa setinggi ini? Seperti biasa tidak ada yang mampu menjawabnya secara pasti. Namun dengan mengenali beberapa faktor yang berkolerasi dengan naiknya harga minyak, mungkin kita bisa memahami dan mempelajarinya. Apa saja faktor-faktor tersebut?
Pertama, hukum supply and demand. Sejak tahun 2021 dimana penanganan pandemi mulai membaik, kebutuhan akan energi juga tumbuh seiring dengan aktivitas manusia yang meningkat. Ini ditandai dengan dimulainya lagi proyek-proyek infrastruktur dan makin meningkatnya perpindahan barang antar negara. Dengan demand meningkat lebih tinggi dari kemampuan supply, maka harga minyak akan naik.Memanfaatkan Sampah Menjadi Listrik
Kedua, kekhawatiran akan supply minyak yang terganggu akibat gejolak politik dalam negeri di Kazakhstan dan krisis politik antara Rusia dan Ukrainia. Seperti yang kita tahu, Kazakhstan dan Rusia adalah negara produser minyak dunia yang cukup signifikan. Dengan produksi sekitar 11 juta bbl/day, Rusia adalah negara dengan produksi terbesar ketiga setelah Arab Saudi dan Amerika Serikat (AS).
Ketiga, inflasi yang cukup tinggi terjadi di negara-negara maju terutama di Amerika Serikat. Pada bulan November 2021, inflasi (year-on-year) di AS mencapai 6.8% yang merupakan inflasi tertinggi sejak tahun 1982. Penyumbang terbesar dari angka inflasi ini adalah naiknya harga komoditas energi terutama batubara dan LNG. Dengan inflasi yang tinggi di AS, USD akan melemah, sehingga harga minyak dalam USD menjadi naik.Karimun Tawarkan Kemudahan Dan Keuntungan Investasi
Pertanyaan menariknya, apakah inflasi tinggi yang mengakibatkan harga minyak naik atau harga minyak yang tinggi mengakibatkan inflasi menjadi naik?
Keempat, berkurangnya investasi di energi fosil terutama migas. Dengan strategi diversifikasi usaha dari energi fosil ke energi terbarukan, perusahan migas Eropa seperti BP, Shell dan Total mulai meninggalkan bisinis migas. Akibatnya produksi dari lapangan-lapangan tua semakin tidak optimal dan terus menurun.
Investasi yang bertujuan menaikan produksi seperti IOR dan EOR banyak yang dibatalkan. Kondisi ini diperparah dengan berkurangnya kegiatan eksplorasi yang bertujuan untuk mencari cadangan baru. Komplit sudah penderitaan industry migas kalau menggunakan strategi diversifikasi usaha.Mulai Kondusif Pasca Rusuh, Pertamina Kembali Salurkan BBM Di Jayapura
Kelima, beralihnya pengguna gas ke minyak. Sepertinya telah terjadi kebingungan dalam menerapkan strategi menuju net zero emisi. Energi terbarukan yang diharapkan mampu mengurangi ketergantungan manusia akan energi fosil masih mencari jalan terbaik karena harga yang tinggi dan pasokan yang tidak stabil.
Persoalannya, disaat energi terbarukan dibutuhkan pada musim dingin di Eropa justru supply nya berkurang. Energi dari batubara terpaksa dihidupkan kembali dan penggunaan gas bumi menjadi naik signifikan. Akibatnya harga batubara dan gas bumi menjadi sangat tinggi.
Mampukah rakyat Eropa untuk membeli harga energi yang tinggi dari batubara dan gas bumi? Kalaulah mampu misalnya lewat program subsidi dari pemerintah, seberapa lama kemampuan keuangan negara menopang program subsidi ini? Di tengah masa pandemic yang membutuhkan banyak dana untuk program pemulihan kesehatan masyarakat dan ekonomi, sangat sukar bagi program subsidi bertahan lama.
Kalau begitu apa skenario yang mungkin terjadi? Banyak negara mulai berpikir untuk berpaling menggunakan kombinasi dari batubara, gas dan minyak dalam rangka mencari soulsi termurah. Dengan harga LNG spot yang tinggi maka pelaku usaha kembali menggunakan minyak karena bisa lebih hemat (gas-to-oil switching). Atau PLTU Kembali mendapat tempat untuk dioperasikan.
Sebuah ironi ditengah maraknya usaha untuk meninggalkan energi fosil, justru skenario yang ada memaksa banyak negara untuk beralih ke energi fosil. Keterjangkauan biaya (affordability) menjadi salah kunci menuju net zero emisi. Kalau tidak kita mungkin akan kembali ke titik awal. Semoga tidak.
Sumber: Arcandra Tahar