Salam Perspektif Baru,
Mian Tiara, seorang musisi dan artis film yang memiliki keprihatinan dan juga kepedulian terhadap upaya penghapusan kekerasan seksual, salah satu wujud kepeduliannya disampaikan dalam bentuk lagu.
Menurut Mian Tiara, yang dia tulis di dalam lagu tersebut adalah untuk tetap bersuara, tidak harus selalu lantang, tidak harus selalu dalam skala yang besar, tapi itu dimulai dari orang-orang yang paling dekat dan orang-orang yang mau mendengar.
Orang yang mau mendengarkan juga penting karena, sebagian besar atau mungkin hampir semua, perasaan yang dirasakan oleh penyintas atau korban kekerasan seksual adalah mereka merasa sendiri dan tidak ada temannya. Jadi itu sebetulnya yang ingin disampaikan juga bahwa kita itu tidak sendiri, kita masih memiliki orang-orang yang mau peduli, masih ada orang-orang yang mau mendengarkan.
Kalau kita bersama-sama maka membuat perubahan karena kita tidak hanya sendiri. Kalau kita tidak bersuara, kita tidak tahu bahwa sebetulnya di luar sana masih ada yang seperti kita. Itu pentingnya bersuara walaupun memang disesuaikan dengan kenyamanan hati juga karena hal itu tidak bisa dipaksakan untuk disuarakan atau langsung diceritakan.Durasi Bercinta di Ranjang Yang Diinginkan Wanita? Lihat Hasil Survey Terbaru
Dalam hal ini sangat penting ada Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Jika tidak ada payung hukum yang kuat, maka mau bersuara juga kita bisa dipatah-patahin terus.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Mian Tiara.
Lagu karya Anda berjudul “Di bawah Langit Raksasa” yang merupakan original soundtrack film Penyalin Cahaya telah terpilih sebagai pemenang lagu tema terbaik pada Festival Film Indonesia 2021. Saat menerima Piala Citra Anda menyatakan piala dan lagu tersebut didedikasikan untuk para penyintas kekerasan seksual.
Apa arti penting dari dukungan Anda dan juga dukungan kita semua untuk saudara-saudara kita yang menjadi penyintas kekerasan seksual?
Saya akan jelaskan dan mau sedikit sharing juga bahwa sebagian besar atau mungkin hampir semua, kalau saya bisa bilang, perasaan yang dirasakan oleh penyintas atau korban kekerasan seksual itu adalah mereka merasa sendiri dan tidak ada temannya.
Itu sebetulnya yang ingin disampaikan bahwa kita itu tidak sendiri, kita masih memiliki orang-orang yang mau peduli, masih ada orang-orang yang mau mendengarkan, dan masih mempunyai ruang-ruang aman sebetulnya.
Mungkin setelah itu terjadi kita tidak bisa langsung menemukannya, memang sebagian besar akan seperti itu kejadiannya, tetapi di sini dengan karya lagu ini saya ingin menjelaskan dan memberi tahu juga kepada teman-teman bahwa kita tidak sendiri. Memang kecenderungannya kita akan merasa terisolasi dari semuanya, dan kita akan menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi, padahal itu bukan salah kita dan tidak pernah menjadi salah kita.Doyan Video Porno, Mucikari Online Tawarkan Anak di Bawah Umur. Diringkus Polda Jatim
Apa saja pesan-pesan yang ada di dalam lagu tersebut?
Yang saya tulis di dalam lagu tersebut adalah untuk tetap bersuara, tidak harus selalu lantang, tidak harus selalu dalam skala yang besar, tapi itu dimulai dari orang-orang yang paling dekat dan orang-orang yang mau mendengar.
Ketika saya mengatakan orang-orang yang paling dekat, saya tidak menyebut keluarga karena kadang-kadang di beberapa peristiwa justru keluarga yang diharapkan bisa menjadi ruang aman tapi tidak bisa memberikan ruang aman tersebut. Itu karena mungkin tidak ada pemahaman terhadap isu ini, mereka tidak biasa menghadapi peristiwa seperti ini. Jadi, mereka juga bingung bagaimana harus merespon.
Yang saya ingin menjelaskan juga di lagu ini adalah kalau kita bersama-sama, maka kita bisa membuat perubahan karena kita tidak hanya sendiri. Kalau kita tidak bersuara, kita tidak tahu bahwa sebetulnya di luar sana masih ada yang seperti kita. Itu pentingnya bersuara walaupun memang disesuaikan dengan kenyamanan hati juga karena hal itu tidak bisa dipaksakan untuk disuarakan atau langsung diceritakan.Angga Gepeng Tertangkap di Waru Sidoarjo, Mucikari Prostitusi Anak Bawah Umur
Dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi oleh banyak perempuan, mengapa Anda yang merupakan musisi dan artis film memilih untuk memiliki kepedulian terhadap kasus kekerasan seksual?
Pertama, karena saya juga seorang penyintas. Kedua, karena banyak sekali terjadi setiap hari. Pasti saya dengar ada beritanya, baik di TV atau dari teman-teman atau di lingkungan saya. Jadi itu yang membuat saya tergerak sebetulnya untuk ikut bergerak bersama dengan teman-teman yang lain untuk mengubah atau mencari solusi. Mungkin skalanya tidak langsung besar karena membutuhkan proses, tapi yang membuat saya akhirnya memiliki kepedulian di sini karena garis besarnya dua alasan itu tadi.
Menurut Anda, bagaimana sebenarnya kasus kekerasan seksual di Indonesia? Apakah memang tinggi ataukah ini hanya ujung dari gunung es yang di bawahnya lebih banyak yang tidak terungkap?
Kedua-duanya. Kalau saya lihat ini adalah suatu kondisi yang sudah darurat sebetulnya. Tapi kita masih belum bisa menyikapi dengan tepat. Sebenarnya kalau darurat itu harus langsung di atasi, harus segera dicari solusinya apa. Tapi ini sepertinya prosesnya juga lambat sekali. Jadi, belum dianggap serius dan darurat. Padahal kalau kita melihat TV, setiap pagi saja itu beritanya banyak sekali dan tidak hanya perempuan, ada juga anak-anak. Itu saya melihatnya sudah darurat sekali ini.
Anda melihat kondisinya sudah darurat untuk kasus kekerasan seksual di Indonesia, tapi di luar sana banyak yang berpandangan bahwa kasus kekerasan seksual dan seksisme begitu mengakar sehingga dilumrahkan di Indonesia. Apa penyebabnya kalau menurut Anda?
Saya menyebutnya kita ini korban patriarki. Banyak sekali ketentuan yang laki-laki harus begini, perempuan harus begini. Saya selalu merasa bahwa perempuan itu secara tidak tertulis rasanya menjadi warga negara nomor dua, terutama yang ada di daerah-daerah.
Kalau kita di kota-kota besar mungkin pemikirannya sudah maju, sudah progresif, tapi kalau yang di daerah mereka masih sangat merasa bahwa perempuan tugasnya hanya menerima saja apa yang terjadi, seperti berserah saja, hanya melayani, dan tidak diperlakukan bahwa perempuan juga mempunyai suara dan kemauan.Mengintip Penjaja Cinta Asal Indonesia di Kawasan Merah Hong Kong
Anda memilih melakukan edukasi dan sosialisasi tentang upaya penghapusan kasus seksual ini melalui jalur lagu dan juga dalam bentuk film. Menurut Anda, apakah bentuk kampanye tersebut efektif untuk penghapusan kekerasan seksual dan juga penghapusan budaya patriarkisme?
Bisa jadi efektif karena ketika kita membicarakan mengenai kekerasan seksual itu memang rasanya berat sekali untuk diangkat menjadi topik, membutuhkan energi yang tidak sedikit untuk membahas mengenai itu. Saya rasa dengan melalui lagu atau film itu bisa meringankan bobotnya jadi lebih mudah diterima juga.
Sama seperti waktu itu saya juga sempat terlibat di salah satu drama musikal yang mengangkat mengenai kekerasan seksual juga yang judulnya “Belakang Panggung”. Kita tidak perlu pricing dan lain-lain, tapi dengan menyaksikan itu juga menjadi satu hal atau cara yang bisa kita tempuh. Mudah-mudahan bisa efektif dan bisa membuat kita menjadi berpikir dan tergerak untuk bisa berbuat sesuatu.
Iya mudah-mudahan, saya juga berharapnya itu efektif. Kalau kita bicara mengenai industri film, apakah industri film kita memang sudah ramah terhadap perempuan artinya sudah ada upaya-upaya untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual di industri film kita?
Saat ini sedang berusaha ke arah sana, sedang membuat jalan untuk ke sana karena kalau industri film itu dianggapnya sebagai industri yang lebih banyak mayoritas laki-laki. Jadi, belum terlalu memikirkan tentang perempuan, walaupun sekarang sudah jauh sekali bedanya. Sudah banyak juga teman-teman yang menyuarakan masalah perempuan baik laki-laki, perempuan.
Mereka juga sudah mulai, sudah terbuka pikirannya, matanya mengenai tindak kekerasan seksual terhadap perempuan. Banyak juga temen-temen yang melakukan hal-hal yang men-support perempuan, khususnya di industri film.
Apakah itu artinya di industri film kita saat melakukan syuting, perempuan-perempuan yang bergelut di sana, baik artis maupun pendukung, sudah merasa aman, nyaman dan merasa dihargai sebagai perempuan?
Belum seluruhnya karena memang masih ada perilaku-perilaku seksis atau yang melecehkan. Tapi dengan adanya kontrak dan kesadaran dari teman-teman itu setidaknya ketika ada kejadian atau peristiwa pelecehan atau kekerasan seksual, mereka sudah tahu harus ke mana. Itu juga salah satu yang sedang kami usahakan. Jadi, setidaknya tidak buntu di situ, ada satu tempat aman yang bisa dipakai atau dimintai pertolongan untuk cerita.
Yang saya tahu, kalau di luar negeri itu sudah banyak atau hampir semua produser-produser film itu menerapkan klausul anti pelecehan seksual dalam kontrak filmnya di setiap produksinya. Apakah produksi film di Indonesia sudah banyak juga yang menerapkan klausul anti pelecehan seksual tersebut?
Sudah, sebagian besar sudah ada. Itu karena dari kejadian yang pernah terjadi sama saya di akhir tahun 2019, saya sempat bicara juga reach out dengan teman-teman sutradara perempuan dan produser perempuan. Di situ saya tahu bahwa sudah ada beberapa Production House (PH) yang sudah memasukkan klausul itu.
Akhirnya saya juga ikut mensosialisasikan ke teman-teman bahwa kita perlu punya klausul ini karena kita perlu punya rasa aman di tempat kerja, di mana pun kita berada perlu punya rasa aman dan itu salah satu yang bisa mengamankan kita atau jadi payungnya kita ketika kita sedang bekerja atau berkarya dengan teman-teman juga.
Sekarang sudah makin banyak. Sejak terakhir di 2019, alhamdulillah sudah lebih banyak. Saya juga sering bicara di setiap kesempatan untuk membahas ini. Saya selalu encourage juga teman-teman untuk memasukkan itu ketika kami sedang bertemu dan berbincang santai. Jadi, sekarang sudah lebih banyak.
Jika suatu saat nanti Anda ditawari kontrak oleh produser film, namun tidak memasukkan klausul anti pelecehan seksual tersebut. Apakah Anda akan meminta itu menjadi suatu syarat dimasukkan dalam kontrak Anda?
Iya.
Apakah ini juga sudah banyak dilakukan oleh artis-artis lain atau teman-teman Anda untuk meminta adanya klausul anti pelecehan seksual di dalam kontrak?
Sudah lumayan banyak dan biasanya kalau saya ada teman-teman yang memang di-casting atau manajemen talent biasanya saya juga membahas hal ini untuk dimasukkan. Jadi, mereka memayungi atau menjadi rumahnya beberapa artis, misalnya 10 atau 20 artis (talent). Jadi, pendekatannya tidak hanya satu per satu atau personal, tapi juga lebih ke satu grup atau lembaga yang lebih besar lagi. Itu karena semakin kita bisa sampai ke atas, peraturannya juga semakin kuat.
Jadi, kalau memang dari produser atau memang dari asosiasi-asosiasi sendiri itu mengharuskan untuk adanya klausul itu di setiap kontrak, maka itu akan lebih baik lagi. Tapi itu juga memang yang kami usahakan.
Suatu arah yang positif di industri film dan semoga itu bisa ditiru di industri-industri lainnya di Indonesia. Tadi Anda katakan dalam industri film atau dalam syuting film, katakanlah para perempuan yang bekerja di sana perlu mempunyai rasa aman saat berprofesi di sana. Apakah setiap produksi film itu sudah mempunyai atau disediakan ruang aman untuk para artis dan kru film?
Ada beberapa yang saya tahu, yang pernah bekerja sama dengan saya. Saya tidak bisa mengatakan secara pasti sudah semuanya atau belum karena memang saya juga belum bekerja sama dengan PH lain atau saya belum memonitor lebih luas lagi dari yang ada di sekitar saya. Tapi ada beberapa juga yang sudah ada.
Beberapa juga ada yang memulai dengan misalnya kalau terjadi sesuatu bisa bercerita atau menyampaikannya langsung kepada sutradara atau ke produser. Terakhir itu sewaktu saya syuting bersama Gina S. Noer, di situ juga ada banner-banner yang memang menjelaskan apa itu pelecehan seksual atau kekerasan seksual. Kalau ada apa-apa, ada kejadian yang tidak nyaman, maka bisa langsung lapor, baik ke Gina, kru yang lain, atau teman-teman yang lain. Jadi memang sudah dibuat sekondusif itu.
Apakah para penyintas kekerasan seksual itu ketika melaporkan atau menyuarakan kasus yang dialaminya sudah mempunyai support system yang memadai?
Ini bukan hanya di industri film saja. Kalau saya ingat beberapa tahun yang lalu ada kasus seorang guru di Mataram yaitu Baiq Nuril Maknun, yang akhirnya dia malah dilaporkan balik oleh orang yang melakukan pelecehan seksual kepada dia. Kasusnya sampai ke Mahkamah Agung dan dia dinyatakan bersalah.
Menurut Tiara, bagaimana kalau mereka sudah berani bersuara, tapi akhirnya malah dituntut balik?
Ini dia memang yang berat, sering kali memang menjadi backlash. Jadi support itu yang kita butuhkan ketika hal-hal seperti ini terjadi. Ketika kita berani bicara, ada konsekuensinya karena belum tentu yang lain paham dan bisa men-support kita juga. Ini juga yang sangat disayangkan sekali.
Sebetulnya ini salah satu yang membuat saya menulis lagu tema itu, terinspirasi dari kejadian ini. Kalau saya melihatnya memang sulit ketika kita tidak mempunyai payung hukum yang kuat. Mau bersuara juga kita bisa dipatah-patahin terus. Itulah pentingnya ada Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Iya, penting sekali adanya payung hukum dan penting juga untuk kita sebagai publik ikut menyuarakan mengenai anti kekerasan seksual. Sebagai penutup, apakah Anda bersedia membacakan lirik-lirik lagu yang Anda buat untuk menggugah kesadaran semua pihak mengenai anti kekerasan seksual?
Saya akan membacakan satu part dari bridge-nya saja karena ini perlu kita dengar dan kita tahu bahwa ini yang dialami oleh penyintas. Dan seharusnya ini yang kita lakukan untuk teman-teman.
“Pelukan dan telinga yang dipinjamkan untuk kisah di tiap kesempatan.
Pelukan dan telinga yang dipinjamkan adalah hembusan kekuatan.”
Jadi, sebenarnya cukup didengar dan dipercaya saja ketika ada yang reach out sama kita untuk bercerita. Kita dengarkan saja dulu karena itu yang dibutuhkan supaya mereka tidak merasa sendiri. Mudah-mudahan bisa menjadi secercah cahaya untuk teman-teman semua.(*)