Suarajatim.com - Membahas vaksinasi COVID-19 untuk anak dengan narasumber yang kredibel dan kompeten, dia adalah juru bicara vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan yaitu dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid., yang juga menjabat sebagai Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung.
Menurut Nadia Tarmizi, pada prinsipnya semua anak usia 6-11 tahun wajib mendapatkan vaksinasi COVID-19. Tujuannya adalah kita menangani pandemi. Untuk anak-anak yang mempunyai komorbid atau bahkan kelainan imunitas, sebenarnya vaksin COVID-19 ini aman. Tapi ada syaratnya yaitu harus konsul dulu dengan dokter yang merawat penyakitnya.
Saat ini kita sedang perang, jangan sampai ada titik lemah kita melawan virus karena virus itu canggih sekali. Bayangkan, dia bisa bermutasi bahkan sekarang sudah muncul varian-varian baru. Kalau ada titik lemah dalam pertahanan kita, itu pasti akan ada celah untuk virus tadi berkembang dan bermutasi. Itulah sebabnya kenapa semua orang harus divaksin.Profesor Wiku Bicara Soal Penanganan COVID-19 di Indonesia: Warning Penting
Nadia Tarmizi mengingatkan bahwa kalau anaknya besok akan divaksin, maka anaknya harus dipastikan jangan sampai olah raga atau beraktivitas yang berat, misalnya main bola sampai lelah sekali. Pastikan untuk istirahat yang cukup dan sarapan dulu kalau vaksinasinya di sekolah. Setelah divaksin, juga jangan melakukan aktivitas yang berat.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber dr. Siti Nadia Tarmizi.
Pemerintah secara resmi melaksanakan vaksinasi COVID-19 untuk anak usia 6-11 tahun sejak 14 Desember 2021, namun hingga kini di masyarakat masih ada orang tua yang ragu untuk anaknya divaksin, atau penasaran mengapa anaknya harus divaksinasi. Padahal katanya jumlah anak yang terkena covid-19 itu sangat sedikit dan juga pada umumnya gejalanya ringan. Jadi, apa alasan utama pemerintah menggelar vaksinasi COVID-19 untuk anak-anak?
Sebenarnya kalau kita melihat cerita-cerita vaksinasi atau imunisasi adalah itu selalu dimulai dengan kelompok yang rentan, dan anak-anak termasuk kelompok yang rentan. Tetapi pada waktu pandemi COVID-19 melanda, vaksinasi yang terlebih dulu ditemukan adalah untuk orang dewasa. Jadi kita seharusnya bersyukur bahwa saat ini untuk COVID-19 juga sudah tersedia vaksinasi pada anak-anak usia 6 - 11 tahun.
Itu karena sebenarnya risiko untuk tertular sakit, menjadi parah, bahkan berujung kematian dapat terjadi pada semua golongan umur. Mulai dari anak usia satu hari sampai lansia yang mungkin 70 - 80 tahun. Jadi, karena risikonya sama, dia bisa lebih cepat tertular, bisa sakit parah, bisa juga berujung kematian, maka vaksinasi pada anak dibutuhkan.
Kalau sekarang jumlah anak-anak yang tertular sakit adalah kecil, hal itu karena sejak awal pandemi kita selalu menjaga anak-anak kita dengan anak-anak sekolah di rumah. Anak-anak tidak ada kegiatan di luar rumah, anak-anak sebagian besar aktivitasnya berada di rumahnya, dan ini yang menyebabkan juga anak-anak itu tidak terpapar.
Tapi mungkin masih ingat pada bulan Juni - Juli tahun lalu, saat menghadapi varian delta, banyak sekali cluster keluarga terjadi dan anak-anak di situ banyak yang tertular dengan orang tuanya. Artinya, kalau penularan itu ada di dekat mereka, itu sangat memungkinkan untuk mereka tertular. Jadi, risikonya sama.
Risikonya sama, tapi yang menjadi pertanyaan juga di publik yang kami tangkap adalah mengapa vaksinasi untuk anak usia 6-11 tahun hanya vaksin dari satu merk tertentu. Banyak yang mempertanyakan efektifitasnya karena berdasarkan laporan-laporan pemberitaan dari luar negeri, bahwa vaksin yang digunakan itu masih kalah efektifnya dengan vaksin-vaksin merek lain. Apakah ini tetap efektif untuk mencegah anak terkena COVID?
Pertama, semua keputusan untuk pemberian vaksinasi harus didasari pada berbagai kajian ilmiah dan studi. Jadi, uji klinis tahap tiga tentang vaksinasi pada anak itu memang sudah dilakukan oleh beberapa jenis vaksin, yaitu ada Sinovac dan Pfizer. Uji klinis Sinovac dilakukan di beberapa negara seperti di United Emirat Arab, Chile, Kanada. Begitu juga pfizer, uji klinisnya ada di Amerika Serikat (AS).
Memang saat ini yang sudah diberikan izin penggunaan daruratnya oleh Badan POM adalah sinovac. Sekarang Badan POM sedang mengkaji kemungkinan yang lain. Misalnya, Pfizer. Itu karena sudah digunakan di AS untuk anak usia lima tahun ke atas. Tetapi tentunya ada proses karena perlu ada informasi kajian data klinis yang harus disampaikan oleh perusahaan tersebut, ataupun distributornya kepada Badan POM untuk Badan POM mengkaji dari sisi keamanannya, manfaatnya, dan dari sisi risiko terjadinya efek samping.
Jadi, sebagai masyarakat, terutama orang tua, tidak perlu ragu. Itu karena semua ahli, artinya bukan pemerintah saja, ada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), ada juga dokter anak, ada dokter penyakit dalam, yang memang sudah ahlinya dalam mengkaji berbagai informasi dan data. Kemudian, itu baru dijadikan suatu program nasional seperti vaksinasi pada anak-anak ini.
Apakah itu artinya vaksinasi untuk anak usia 6-11 tahun ini aman?
Itulah pentingnya ada uji klinis tahap tiga karena di sana kita bisa melihat. Kita tahu uji klinis tahap tiga itu dilakukan pada jumlah orang yang jauh lebih besar yaitu ribuan. Kalau tahap satu itu hanya sekitar 10 sampai 15 orang. Kemudian tahap kedua itu ratusan orang. Tahap ketiga itu ribuan karena semakin banyak orang mendapatkan atau menjadi subjek penelitian, kita akan melihat dampaknya pada populasi yang lebih luas atau pada jumlah orang yang lebih luas.
Di sini kita juga sudah bisa mendapatkan data-data efek samping yang mungkin terjadi kalau kemudian anak usia 6 - 11 tahun mendapatkan vaksinasi. Dari hasil studi uji klinis yang ada dari beberapa negara. Sebagian efek samping yang dikeluhkan itu adalah nyeri atau sakit pada tempat penyuntikan. Kedua adalah demam, kemudian yang ketiga adalah sakit kepala atau pusing. Jadi, itu tiga gejala terbesar yang dalam waktu satu sampai dua hari akan hilang dengan sendirinya.
Apakah efek samping tersebut normal?
Efek samping bisa terjadi karena sebenarnya vaksin itu adalah pelatih. Ingat, bahwa vaksin itu disuntikkan ke tubuh kita untuk melatih sistem kekebalan tubuh kita. Dalam pelatihan itu sistem kekebalan tubuh kita merespon tantangan yang diberikan oleh vaksin tadi dan responnya itu bisa berupa munculnya keluhan-keluhan tadi. Tapi ada juga orang yang tidak merasakan sama sekali dalam proses pelatihan yang dilakukan oleh si vaksin tadi.
Tadi Anda menjelaskan mengenai kejadian ikutan pasca imunisasi bagi anak. Diantaranya ada yang pegal-pegal tangannya, dan ada yang sakit kepala. Bagaimana cara mengatasi kejadian ikutan pasca imunisasi tersebut bagi anak yang mengalami gejala tersebut?
Kembali dari uji klinis, keluhan nyeri atau pegal di tempat bekas suntikan itu dikeluhkan kurang lebih 25% di subjek penelitian, yang demam antara 10% sampai 12%, yang sakit kepala lebih kecil lagi hanya 6-7%, yang lainnya hampir tidak ada.
Yang menjadi tantangan adalah anak-anak ini cenderung kalau dia tidak merasa demam tinggi ataupun tidak merasa sakit kepala yang hebat, biasanya dia tetap bermain. Jadi, kadang-kadang orang tua ketika tiba-tiba pegang anaknya, maka dia sudah panas, sudah demam karena biasanya anak-anak ini tidak terlalu peduli dengan kondisi tubuhnya, dia masih tetap main.
Jadi, kalau kita bicara mengenai efek samping, kami akan mengingatkan yang pertama untuk orang tua. Kalau anaknya besok akan divaksin, maka anaknya harus dipastikan jangan sampai olah raga atau beraktivitas yang berat, misalnya main bola sampai lelah sekali. Pastikan untuk istirahat yang cukup dan sarapan dulu kalau vaksinasinya di sekolah.
Setelah divaksin, juga jangan melakukan aktivitas yang berat. Sama saja seperti orang dewasa, kita juga diminta untuk tidak gym dulu setelah divaksin. Itu karena pada saat vaksinnya masuk melatih sistem kekebalan tubuh kita, kalau orang sedang pelatihan itu seperti digenjot. Jadi, untuk bisa ikut training yang kuat, pasti butuh kondisi yang fit. Karena itu penting kondisi-kondisi tadi disiapkan dulu, kalau kita ingin mencegah kemungkinan ada efek samping.
Tapi kalau kemudian efek samping itu terjadi, misalnya pegal atau sakit, Puskesmas biasanya membawakan obat penurun panas atau anti nyeri atau mungkin paracetamol yang sering Ibu-ibu tahu atau paham. Kalau memang ada kondisi seperti tersebut, maka segera minum obatnya. Kalaupun bengkak, itu bisa di kompres. Atau kalau misalnya demam bisa minum obat penurun panas tadi, sakit kepala juga bisa minum obat anti nyeri atau Paracetamol.
Paling penting adalah kalau kemudian gejala ini setelah dikompres atau setelah minum obat penurun panas, tapi tetap demam, maka segera bawa ke fasilitas pelayanan kesehatan karena dengan makin cepat mendapatkan pertolongan, makin cepat ditangani, kita bisa mengatasi dengan lebih cepat.
Seringkali mungkin para orang tua mendengar ada beberapa kejadian efek samping, tapi itu semua sudah diteliti oleh para ahli dan sudah diketahui bahwa ini bukan disebabkan karena imunisasi atau vaksinasi COVID 19. Jadi, kembali lagi bahwa orang tua tidak perlu ragu, tidak perlu takut, yakin ini sudah aman dan kita punya sistemnya kalau ada efek samping penanganannya seperti apa. Itu sudah ada sistem yang pasti akan bisa mendeteksi dan menangani. Tapi yang penting orang tua harus peduli, harus lebih memperhatikan anak-anaknya kalau selesai divaksinasi.
Apakah semua anak yang usia 6-11 tahun itu memang wajib untuk melakukan vaksinasi COVID? Bagaimana dengan anak yang memiliki komorbid atau penyakit bawaan?
Pada prinsipnya, semua anak usia 6-11 tahun wajib karena vaksinasi ini adalah vaksinasi primer. Vaksinasi primer itu adalah vaksinasi dosis pertama dan dosis kedua, yang kita tahu dalam penanganan pandemi ini seluruh sasaran vaksinasi termasuk anak usia 6-11 tahun wajib mendapatkan vaksinasi. Tujuannya adalah kita menangani pandemi.
Saat ini kita sedang perang, jangan sampai ada titik lemah kita melawan virus karena virus itu canggih sekali. Bayangkan, dia bisa bermutasi bahkan sekarang sudah muncul varian-varian baru. Kalau ada titik lemah dalam pertahanan kita, itu pasti akan ada celah untuk virus tadi berkembang dan bermutasi. Yang paling bahaya adalah mutasinya itu bisa mengalahkan sistem kekebalan tubuh kita. Itulah sebabnya kenapa semua orang harus divaksin.
Jangan sampai kita berfikir karena masih anak-anak, maka tidak mungkin menulari orang dewasa, itu salah besar karena anak-anak walaupun usianya masih kecil, masih memungkinkan untuk menjadi sumber penularan pada orang sekitarnya, termasuk orang dewasa bahkan pada kakeknya, neneknya yang merupakan kelompok paling rentan.
Jadi, semua anak-anak harus divaksin. Untuk anak-anak yang mempunyai komorbid atau bahkan kelainan imunitas, sebenarnya vaksin COVID-19 ini aman. Tapi ada syaratnya yaitu harus konsul dulu dengan dokter yang merawat penyakitnya. Jadi, kalau ada anak-anak yang sakit jantung, kelainan bawaan, maka itu harus konsul dengan dokternya.
Anak-anak dengan kanker darah atau leukemia, kanker sel darah putih atau anak-anak dengan kelainan imunitas seperti memiliki penyakit lupus atau penyakit lainnya, itu yang penting konsul dengan dokter yang merawatnya selama ini. Biasanya kalau sudah terkendali dan sudah terkontrol maka itu bisa di vaksinasi.
Banyak juga masyarakat yang mempertanyakan mengenai anak yang sudah terkena COVID-19 tidak perlu lagi divaksin. Pertimbangan mereka adalah vaksin itu untuk membentuk imunitas, kalau sudah terkena COVID-19 berarti mereka sudah mempunyai imunitas. Apakah benar pandangan tersebut?
Jadi, kita tahu bahwa vaksinasi itu harus dilakukan dua kali dulu. Kenapa tidak cukup satu kali? Karena ternyata kalau satu kali maka imunitas tubuh kita yang terbentuk itu tidak tinggi, tidak sampai lebih dari 95%. Imunitas kalau kita ukur secara khusus melalui pemeriksaan titer antibodi, itu hanya 40-45%, makanya ditambah satu dosis lagi. Begitu dapat dua dosis kita bisa sampai 95%. Jadi agar mencapai angka 95% maka anak-anak harus divaksinasi dua kali.
Kemudian bagaimana dengan anak yang sudah pernah sakit atau jadi penyintas COVID? Pada anak-anak yang pernah sakit atau merupakan penyintas COVID tetap harus divaksin. Kalau dia vaksinasinya belum sama sekali, berarti setelah satu bulan dia menjadi penyintas covid, maka dia mendapatkan vaksinasi tetap dua kali yaitu dosis satu dan dosis dua.
Bisa juga misalnya setelah suntik satu kali, kemudian tertular dari orang tuanya atau dari lainnya, maka dia harus menunda vaksin berikutnya sampai dia dinyatakan sembuh. Setelah satu bulan sembuh, baru mendapatkan dosis kedua. Jadi, tetap harus dua kali suntik.
Kalau kita mendapatkan imunitas secara alamiah, artinya dari tertular atau dari terinfeksi, itu kadarnya tidak setinggi kalau kita mendapatkan vaksinasi. Kedua, dia lebih cepat turunnya dibandingkan orang yang divaksin. Itung-itung seperti booster, jadi mendapat tiga kali vaksin. Itu karena prinsip kita adalah memastikan semua orang memiliki titer antibodi sampai dengan 95%, maka tetap harus divaksinasi.
Banyak juga masyarakat yang menanyakan kenapa harus dua kali suntik? Mengapa tidak satu dosis saja dijadikan satu karena banyak anak yang masih takut dengan jarum suntik. Kalau memang dosisnya 100, kenapa tidak 100 langsung dosisnya disuntuk, dan tidak harus dibagi menjadi 50 dan 50? Apakah nanti harus ada booster juga? Itu mungkin yang menjadi ketakutan-ketakutan anak dan trauma orang tua. Mungkin bisa dijelaskan, bu dokter.
Saya rasa salah satu penyebabnya juga karena ketika orang tua marah dengan anaknya, atau ingin menyuruh anaknya melakukan sesuatu, selalu memakai ancaman. Misalnya, kalau anak tidak mau makan atau minum susu nanti dibawa ke dokter dan disuntik. Akhirnya anak memiliki ketakutan tersendiri dengan dokter atau jarum suntik. Memang sebagian besar orang takut ketika akan disuntik. Kita bisa melihat saat vaksinasi, saya masih ingat pernah melihat kejadian di media sosial. Ada yang badannya kekar, ketika disuntik teriak-teriak.
Itulah sebabnya mengapa ada jarak 28 hari, bahkan AstraZeneca itu jaraknya sekitar dua bulan sampai tiga bulan, ada juga yang 21 hari karena memang dari hasil uji klinis secara ilmiah bahwa untuk mencapai angka antibodi 95% itu harus melalui rentang waktu tertentu. Kembali lagi bahwa ini adalah proses dalam melatih tubuh. Jadi, bukan zat anti kebal yang disuntikkan kepada kita. Yang disuntikkan itu adalah antigen atau bagian dari virus yang nanti ini akan menjadi stimulus yang akan merangsang sistem kekebalan tubuh kita supaya seperti pelatihan.
Jadi, vaksin ini berperan sebagai pelatihnya, dan sistem kekebalan tubuh adalah muridnya. Itulah yang dilatih. Pada kurun waktu tertentu dia membutuhkan waktu untuk sampai pada level tertentu. Setelah itu levelnya tidak bisa naik lagi. Pada saat levelnya tidak bisa naik lagi, maka diberikan suntikan kedua supaya dia naik lagi. Jadi, mungkin ibaratnya gurunya sudah kecapean, sehingga harus ganti guru baru supaya bisa naik lagi. Itulah kenapa khusus untuk vaksinasi COVID-19 kita lakukan dua kali.
Sebenarnya kalau para orang tua ingat, ada juga imunisasi yang kita ketahui misalnya hepatitis, itu juga harus diberikan tiga kali, tidak cukup satu kali. Kemudian ada DPT, itu juga kita berikan tiga kali. Jadi, ada beberapa jenis vaksin supaya mempunyai titer antibodi yang tinggi di dalam tubuh kita, memang harus diberikan lebih dari satu kali.
Apakah memang harus melalui suntikan saja dan tidak bisa melalui tetesan karena ada beberapa imunisasi yang bisa melalui tetesan?
Kembali lagi bahwa semua yang kita lakukan, dan kita berikan itu semuanya ada dasar ilmiahnya. Jadi, pasti kami selalu mengingatkan orang tua tidak perlu ragu, tidak perlu takut, yakinlah bahwa semua keputusan itu diambil berdasarkan kajian-kajian ilmiah.
Kita tidak tahu juga, mungkin ke depannya ada jenis vaksin yang bisa di teteskan untuk COVID-19. Tapi sampai saat ini memang vaksin COVID-19 itu bentuknya disuntikan karena kita tahu sistem kekebalan tubuh kita, sel darah merah, sel darah putih, itu adanya di dalam darah dan itu akan lebih cepat bereaksi kalau dalam bentuk suntikan.
Sudah ada juga berapa studi yang kemudian sifatnya diteteskan pada waktu itu, tapi kembali lagi dari data yang ada bahwa antibodi yang ditimbulkan itu masih lebih tinggi yang disuntikan. Di masa pandemi ini kita ingin cepat selesai semuanya supaya jangan sampai pandemi ini berkepanjangan, semua sudah lelah, sudah mau dua tahun pandemi. Jadi, yang paling efektif itu dulu yang di diambil sebagai intervensi kita dalam penanganan pandemi, termasuk vaksinasi. Sampai saat ini yang paling efektif adalah melalui suntikan.(*)