Mengenal Kiprah Nabila Ishma Nurhabibah, Peraih Penghargaan Ashoka Young Changemaker 2021
Siswa di sekolah. Foto:@iqwanalif
Suarajatim.com - Sosok remaja inspiratif karena aktif membantu teman-teman sebaya yang bermasalah untuk mengembangkan diri. Dia adalah Nabila Ishma Nurhabibah, pendiri Metamorfosa yaitu sebuah komunitas pendampingan bagi anak-anak bermasalah yang ada di Bandung, Jawa Barat.
Aktivitas tersebut membuat dia mendapatkan penghargaan Ashoka Young Changemaker 2021. Saat ini Nabila masih menempuh studi di Fakultas Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran.
Nabila Ishma Nurhabibah
Menurut Nabila, awal mulanya ada Metamorfosa dari aksi Cari tahu, Dekati, Empati, Forum (CDEF). Itu aksi yang dia lakukan sendiri untuk membantu beberapa anak yang bermasalah dalam mengembangkan dirinya.
Akhirnya pada 2019 aksi CDEF ini menjadi yang namanya Metamorfosa yaitu wadah untuk anak-anak yang memang istimewa, anak-anak yang membutuhkan perhatian lebih.
#schoolbullying
Harapannya adalah mereka bisa menyadari bintangnya masing-masing. Ketika kita sudah yakin sama diri kita, kita bisa mengetahui apa yang kita inginkan, kita bisa jadi sosok generasi muda yang berkualitas, generasi muda yang bisa memajukan Indonesia.
Sadar akan potensinya masing-masing, sadar akan keunikan dirinya masing-masing, punya empati yang lebih sehingga tergerak untuk mengubah Indonesia bersama-sama.
Berikut wawancara kolom Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Nabila Ishma Nurhabibah:
Sebentar lagi pemerintah akan mulai melakukan uji coba pengajaran secara tatap muka. Kegiatan belajar tatap muka di sekolah tidak jarang memunculkan tingkah laku bullying baik secara lisan maupun secara fisik. Pada akhirnya ini kerap menimbulkan anak atau siswa yang bermasalah untuk mengembangkan diri.
Anda adalah salah seorang remaja yang peduli terhadap rekan-rekan sebaya yang kesulitan untuk mengembangkan diri. Sejak kapan dan mengapa Anda peduli pada anak-anak yang bermasalah dalam mengembangkan diri?
Awal mulanya saat Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada 2015. Dulu SMP saya terkenal sebagai salah satu, yang mungkin istilahnya, “sekolah terbaik” di kota Bandung. Tapi justru sistem pengajaran yang diajarkan oleh guru-gurunya kerap menggunakan kekerasan sebagai dalil kedisiplinan anak-anak. Terkadang ada anak-anak yang dipukul kalau melanggar peraturan.
Puncaknya waktu itu yang membuat saya sangat marah adalah beberapa anak dikumpulkan di lapangan upacara. Ketika upacara mereka dibariskan paling depan dan guru berkata, “Kalian bisa melihat contoh di depan. Inilah aib-aib sekolah kita.” Di depan semua murid pada saat upacara disebutkan oleh guru seperti itu. Saya ingat betul waktu itu yang berbicara adalah wakil kepala sekolah. Menurut saya, perbuatan ini salah. Ini tidak bisa dibiarkan, dan tidak boleh seperti itu.
Mengapa itu salah dan tidak boleh dibiarkan?
Itu karena saya percaya bahwa mereka melakukan sesuatu karena ada sebabnya. Saya percaya bahwa mereka melakukan kekerasan, melanggar peraturan, melakukan hal-hal aneh seperti merokok, itu ada alasannya. Saya tahu sebenarnya mereka punya alasan di balik itu. Kebanyakan dari mereka punya masalah di keluarganya, dengan dirinya, situasi belajarnya di sekolah, dan itu tidak pernah digali oleh sekolah. Mereka melakukan itu ada latar belakangnya.
Mereka memang membutuhkan satu tempat untuk menunjukkan dirinya, walaupun memang caranya salah. Tapi hal itu tidak pernah dilihat oleh sekolah. Menurut saya, setiap orang punya karakter masing-masing. Ada orang yang punya karakter selengean, ada orang yang karakternya supel, ada anak yang karakternya penuh semangat, dan itu justru yang tidak pernah dilihat oleh pihak sekolah.
Dari situ munculah aksi CDEF yaitu bentuk koseling sebaya atau antar teman sebaya. Kalau diterjemahkan C adalah Cari tahu, Dekati, Empati, dan F adalah Forum. Dimana kita cari tahu teman-teman kita yang sekiranya membutuhkan bantuan, terus dekati dengan cara yang baik karena setiap orang itu cara mendekatinya berbeda-beda. Ada yang suka dengan cara halus, ada yang suka dengan cara bermain dan lain-lain.
Kemudian yang ketiga adalah Empati yaitu memberikan kepedulian kepada mereka karena sebenarnya itu yang mereka butuhkan, perhatian dari kita. Yang terakhir adalah Forum yang artinya salah satu solusi yang kita bisa cari bersama. Misalnya, kalau memang dia punya semangat di bidang olah raga, maka alihkan semangat dan emosinya ke bidang olah raga supaya beranjak lebih positif. Kalau dia mempunyai masalah yang cukup besar, kita bisa mengalihkan ke forum profesional, misalnya guru Bimbingan Konseling (BK) atau psikolog.
Awal mulanya ada Metamorfosa itu dari CDEF. Itu aksi yang saya lakukan sendiri untuk membantu beberapa anak di sekitar saya mulai SMP sampai SMA. Akhirnya pada 2019 beranjak ke 2020 aksi CDEF ini kita metamorfosakan menjadi yang namanya Metamorfosa yaitu wadah untuk anak-anak yang memang istimewa, anak-anak yang membutuhkan perhatian lebih.
Tadi Nabila mengungkapkan bahwa untuk mendekati anak atau siswa yang bermasalah dalam upaya mengembangkan diri ada formulanya yaitu Cari Tahu, Dekati, Empati, dan Forum (CDEF). Dari mana Anda mendapat inspirasi formula CDEF ini?
Sebenarnya itu tiba-tiba muncul saja ide tersebut. Beranjak dari beberapa waktu saya mengamati. Sebenarnya bagaimana caranya bisa reach out anak-anak ini? Tiba-tiba ide itu muncul sesaat, tiba-tiba saya harus mencari tahu apa masalah mereka, saya harus mendekati mereka, saya harus kasih mereka kepedulian karena itu yang mereka butuhkan, dan akhirnya forum ini.
Itu dibuatnya benar-benar ketika saya sedang istirahat di sekolah. Kemudian saya coret-coret iseng, akhirnya terbentuklah formula CDEF ini. Kemudian akhirnya dikembangkan lagi lebih matang. Setelah itu ternyata CDEF ini konsepnya persis sekali dengan yang namanya axiological health atau aksiologi awal.
Jadi sebenarnya terbalik, saya pikir sendiri dulu, baru saya menemukan bahwa ini ternyata salah satu bentuk pertolongan profesional yang ada.
Apakah ada orang yang menginspirasi Anda untuk melakukan CDEF ini?
Kalau yang menginspirasi untuk melakukan CDEF ini secara spesifik sebenarnya tidak ada, cuma memang dasarnya rasa empati dalam diri saya saja waktu itu.
Tapi kalau seseorang yang mendorong saya untuk memberikan kepedulian kepada anak-anak, untuk bisa bergerak membantu anak-anak, waktu itu inspirasi saya adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang saat itu Linda Gumelar. Saat itu dia yang menjadi inspirasi saya mengapa akhirnya saya ingin fokus untuk bergerak di bidang perlindungan anak.
Ketika Anda bergerak dengan formula CDEF ini, apakah memang terbukti bahwa teman Anda yang tadinya bermasalah bisa berubah?
Sejauh ini terbukti, sebenarnya prinsip saya itu bukan kuantitas tapi kualitas. Jadi memang saya tidak terlalu banyak reach out anak-anak.
Salah satu contoh yang bisa saya ambil adalah, ada salah satu teman saya, sebut saja namanya B, waktu SMP itu benar-benar di bully, bukan hanya oleh anak-anak tapi juga guru. Itu karena dia adalah anak dari seorang public figure yang saat itu mempunyai skandal dan lain-lain.
Dia disebut dengan berbagai macam hal, kemudian dia juga memang perilakunya kadang melanggar aturan, dan segala macam. Akhirnya dibantu dengan CDEF ini menemukan apa yang dia mau, ternyata dia mempunyai minat di bidang musik dan juga seni peran.
Akhirnya, dia membentuk band dengan teman-temannya. Kemudian dia juga mulai main film dan sekarang menjadi pemain film yang cukup terkenal di film-film Indonesia.
Itu juga pendekatannya tidak hanya dengan apa yang dia suka, tapi kita juga pendekatan ke orang tuanya, apa kira-kira masalah yang dihadapi? Ketika dia mempunyai titik-titik krisis tertentu dalam dirinya, di situ saya menemani dia sampai akhirnya dia menemuka apa yang dia suka.
Tadi Anda mengatakan salah satu upaya atau aksinya adalah juga pendekatan ke orang tua. Ketika Anda melakukan itu, apakah Anda tidak dipandang sebelah mata karena dianggap ikut-ikutan aktivitas orang dewasa atau anak kecil ini kenapa berusaha membimbing anak atau teman sebayanya?
Sebenarnya kalau masalah dengan orang tuanya sejauh ini tidak ada karena saya selalu dibantu dengan mama saya yang juga sebetulnya pekerjaannya bergerak di bidang pendidikan. Kenapa saya dibantu dengan mama saya?
Karena memang kalau pendekatan ke orang tua tidak bisa saya yang langsung berhubungan, tapi memang harus ada jembatan dari orang dewasa atau kadang saya minta bantuan dari guru BK juga. Itu juga sangat membantu untuk bisa terhubung dengan orang tua teman yang saya bantu.
Apakah Anda pernah mendapatkan cibiran dari aktivitas Anda ini?
Sangat, terutama dulu waktu di SMP, karena istilahnya saya mendobrak sistem yang ada untuk memperjuangkan anak-anak ini agar dilindungi. Dulu saya sampai disebut pahlawan untuk penjahat oleh guru di sekolah. Saya sampai dinasehati, “Kamu jangan sampai jadi pahlawan penjahat ya Nabila.” Padahal niat saya hanya membantu mereka.
Kemudian lucunya, sertifikat kelulusan saya ditahan sampai beberapa waktu, dipersulit untuk didapatkan, sampai saya baru bisa mengambil sertifikat kelulusan saya saat kelas dua SMA.
Dulu saya pernah sampai ingin ke luar saja dari sekolah dan pindah, tapi sama orang tua dikuatkan. Kalau memang kita yakin dengan apa yang kita perjuangkan, kita harus kuat karena yang kita perjuangkan adalah hal yang baik.
Bagaimana Anda bisa sampai kuat menghadapi cibiran dan sinisan tersebut?
Mungkin yang paling penting adalah peran orang tua karena saya selalu diskusi dengan orang tua. Orang tua juga mendampingi dengan baik, memberi kekuatan dengan baik, dan yang paling menguatkannya lagi adalah apa yang saya lihat yaitu perubahan dari teman-teman saya.
Ketika melihat teman-teman saya berubah menjadi lebih baik, mereka berterima kasih kepada saya karena sudah dibantu. Saya melihat perubahannya dengan jelas dan itu membuat saya jadi termotivasi untuk tetap melakukan hal yang sama, sehingga membuat saya lebih kuat lagi.
Sekarang Anda melakukan hal tersebut melalui Metamorfosa, apakah bisa dijelaskan secara rinci?
Awal mula Metamorfosa dibentuk ketika saya menjadi bagian dari acara yang diadakan oleh keluarga penuh pendidikan dan juga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Acara tersebut berisikan 60 anak-anak istimewa, 60 anak komunitas, anak yang membutuhkan bantuan dari kota Bandung.
Setelah kegiatan itu selesai, suatu proses pendampingan selama tiga bulan terhadap anak-anak ini. Saya melihat bahwa tidak bisa berhenti sampai di sini. Saya dan teman-teman berpikir bahwa mungkin kita bisa membuat suatu wadah untuk anak-anak ini, dimana kita masih bisa membantu lebih lanjut lagi.
Wadah ini kita beri nama metamorfosa. Mengapa namanya Metamorfosa? Karena maknanya adalah kita ingin menjadi tempat mereka untuk tumbuh berkembang di wadah metamorfosa ini. Kita tetap menggunakan pendekatan CDEF untuk membantu mereka menemukan solusi untuk dirinya.
Apakah kalau ada anak yang bermasalah bisa minta bantuan kepada Metamorfosa, bagaimana caranya, apakah ini free?
Sebenarnya kalau mau minta bantuan bisa sekali, dan tidak ada biaya segala macam. Sebenarnya sistem yang kita lakukan itu bukan kita membuka layanan, kemudian orang bisa minta bantuan. Kita lebih mempunyai jaringan sendiri. Jadi ada anak-anak di sekitar kita yang membutuhkan, baru kita ajak ke metamorfosa untuk dibantu masalahnya.
Itu karena sebenarnya tidak hanya sebatas membantu masalahnya, tapi kita ingin mengarahkan mereka juga kepada hal-hal yang mereka suka di forum ini. Jadi tidak hanya sekadar untuk menjadi teman konsultasi.
Sebenarnya untuk saat ini fokus kita memang ke anak-anak istimewa, anak-anak komunitas ini. Jadi memang kebanyakan penjaringannya kita langsung ke anak-anak komunitas-komunitas di Kota Bandung. Setelah itu kita menjaringnya, siapa yang membutuhkan bantuan, baru akhirnya kita bantu masing-masing.
Apakah bisa disebutkan lebih spesifik lagi bentuk kegiatannya yang rutin, yang reguler dilakukan oleh komunitas Metamorfosa?
Sebenarnya ini baru terbentuk pada 2020. Ketika kita mencoba mengembangkan untuk lebih berkembang lagi ternyata terhambat sama pandemi COVID-19. Jadi kita belum sempat untuk lebih memperluas kerja bidang kita.
Cuma sejauh ini yang kita lakukan adalah kita punya pertemuan-pertemuan, kebanyakan kita bekerja sama dengan komunitas-komunitas dan organisasi-organisasi lain.
Misalnya, salah satu bentuk kerja sama kita adalah dengan Perpustakaan Belakang Sekolah. Ada satu komunitas bernama Perpustakaan Belakang Sekolah, setiap hari Jumat mereka membuat Forum Diskusi.
Anak-anak dari Metamorfosa setiap hari Jumat ikut Forum Diskusi dengan Perpustakaan Belakang Sekolah. Mereka yang punya minat dalam bidang literasi, minat untuk membaca, diskusi, biasanya setiap hari Jumat bersama mereka.
Kita juga kerja sama dengan Kelas Bersama. Di situ kita membuat incubation class bersama-sama untuk anak-anak di Metamorfosa. Kebanyakan kita mengarahkan kepada apa yang mereka inginkan. Ada yang minatnya mengarah ke kebencanaan, akhirnya kita mengadakan webinar tentang Siap Siaga Bencana bersama anak-anak yang memang punya minat di bidang kebencanaan.
Jadi sejauh ini kita lebih banyak bermitra dengan komunitas-komunitas lain dan membuat kegiatan bersama sekaligus mengarahkan minat anak-anak. Jadi mengarahkan sesuai dengan yang mereka suka.
Ketika ada seorang anak atau remaja yang bermasalah. Apa tips Anda untuk dia bisa tetap mengembangkan diri?
Tips untuk anaknya, pertama harus mengenali diri sendiri, ini yang paling penting. Tadi mungkin sempat saya sebut di awal, kadang kita lupa untuk menggali diri mereka dan mereka juga tidak menggali diri mereka lebih dalam lagi.
Itu karena saya yakin pada satu filosofi yang mengatakan bahwa “Setiap anak itu bintang di langitnya masing-masing.” Meskipun ketika kita ingin melihat bintang itu lebih bersinar lebih terang, artinya kita butuh langit yang gelap.
Kadang harus ada masalah-masalah yang dihadapi. Kadang harus ada sisi-sisi buruk dulu yang dihadapi, sisi gelap yang dihadapi, tapi saya percaya bahwa ketika mereka percaya dengan dirinya, mereka bisa menjadi suatu bintang yang menyinari langit yang gelap.
Mungkin yang paling penting adalah harus bisa kenal dengan dirinya. Ketika tahu potensi yang dia miliki, ketika tahu kelebihan yang dia miliki, pasti dia akan bisa untuk melakukan hal yang lebih baik. Saya yakin mereka bukan melakukan hal yang salah, tapi belum terarah kepada hal yang lebih baik.
Aktivitas Anda ini lebih banyak berhubungan dengan psikologi, yaitu psikologi anak atau psikologi remaja. Tapi mengapa Anda malah justru kuliah di Fakultas Ilmu Hukum, dan bukan di Fakultas Psikologi?
Sebenarnya saya punya minat lain, tapi psikologi memang satu hal yang saya minati juga. Sekitar 2018 - 2019 saya sempat membantu pendampingan anak berhadapan hukum. Sekitar tiga kasus.
Pertama, ada anak SMP yang saat usia Taman Kanak-kanak (TK) mendapat pelecehan seksual dari pamannya, padahal anak ini laki-laki. Kedua, korban pelecehan seksual yang usianya SMP.
Dari situ saya melihat proses. Awalnya, niat saya hanya mendampingi dengan aksi CDEF, mendampingi secara psikologis. Tetapi ketika saya amati ternyata proses pendampingan secara hukum untuk anak-anak yang berhadapan hukum itu masih sangat banyak kekurangannya di Indonesia. Entah itu dari sisi psikologi atau dari sisi hukumnya.
Dari situ akhirnya terdorong untuk mengambil jurusan hukum karena ingin menjadi Ahli Hukum Perlindungan Anak. Di Indonesia belum ada yang mengambil spesifikasi ke hukum perlindungan anak.
Saat ini Anda kuliah sambil menjadi aktivis untuk perlindungan anak atau untuk tumbuh kembang anak. Bagaimana Anda membagi dua kegiatan ini agar tidak saling berbenturan?
Sebenarnya selalu membuat prioritas. Kalau sekolah atau kuliah, itu tidak akan pernah saya masukkan prioritas karena itu adalah kewajiban. Jadi yang pasti paling pertama saya lakukan adalah kuliah. Baru manage prioritas-prioritas lainnya.
Selain berorganisasi dan melakukan aktivitas untuk membantu anak-anak, saya juga ada beberapa kesibukan lainnya, seperti shooting, photoshoot untuk beberapa produk advertising dan lain-lainnya. Memang harus bisa membagi waktu dengan baik.
Untung saja sekarang serba online, Jadi ketika online mungkin akan lebih mudah karena via daring bisa dimana saja dan kapan pun kuliahnya.
Poin pentingnya harus bisa membuat prioritas yang mana yang perlu dilakukan, yang mana tidak perlu dilakukan, sampai akhirnya memang ada hal-hal yang harus dikorbankan, tapi itu bagian dari membuat prioritas, harus ada yang dikorbankan dan ada yang diutamakan.
Apa harapan Anda untuk para generasi muda Indonesia ke depannya?
Harapannya adalah mereka bisa menyadari bintangnya masing-masing. Ketika kita sudah yakin sama diri kita, kita bisa mengetahui apa yang kita inginkan, kita bisa jadi sosok generasi muda yang berkualitas, generasi muda yang bisa memajukan Indonesia.
Sadar akan potensinya masing-masing, sadar akan keunikan dirinya masing-masing, punya empati yang lebih sehingga tergerak untuk mengubah Indonesia bersama-sama.(*)