Riza Husni, Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) |
PerspektifBaru.com: Perubahan iklim telah menjadi isu penting di tingkat global dalam tahun-tahun belakangan ini. Indonesia pun menjadi salah satu negara yang mendukung kesepakatan internasional Perjanjian Paris untuk menghadapi perubahan iklim.
Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dari sektor energi membutuhkan komitmen kuat untuk meninggalkan bahan bakar fosil dan mengadopsi energi terbarukan. Narasumber kali ini adalah Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni yang akan berbagi perspektifnya mengenai energi terbarukan di Indonesia terutama pembangkit listrik tenaga air..
Menurut dia, PLTA bisa menjadi tulang punggung untuk ketahanan energi. Bahkan kalau pemerintah betul - betul serius mungkin dalam lima sampai 10 tahun ke depan bisa terbangun sedikitnya 20.000 megawatt. Jumlah 20.000 megawatt itu sangat besar untuk pasokan listrik di Indonesia.
Baca: Kisah Dasep Ahmadi, Pencipta Mobil Listrik Indonesia yang Berjuang untuk Bebas
PLTA memiliki banyak keunggual. Kesatu, energi terbarukan yang bersumber dari air lebih bersih dan ramah lingkungan. Kedua, harganya juga murah dan sangat ekonomis. Ketiga, Dengan digunakannya sumber-sumber energi terbarukan tentunya akan menghemat keuangan negara dalam jumlah yang cukup besar.
Guna PLTA dan energi terbarukan dapat menjadi tulang punggung ketahanan energi, maka dibutuhkan dukungan peraturan perundangan yang friendly terhadap kemungkinan swasta untuk berkiprah di sektor ini. Juga dukunganya kesadaran dari Menteri BUMN untuk transformasi PLN dari fosil kepada non fosil.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Riza Husni:
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ribuan sungai. Sungai memiliki peranan penting dalam sistem lingkungan dan kehidupan makhluk hidup. Beberapa manfaat sungai di antaranya mengalirkan air ke hilir, menjadi pusat ekosistem, sumber mencari bahan makanan, tempat rekreasi, jalur transportasi, dan juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan untuk tenaga pembangkit listrik.
Bagaimana pemanfaatan sungai di Indonesia untuk pembangkit listrik yang ramah lingkungan, dan bagaimana perbandingannya dengan negara-negara lain?
Indonesia termasuk negara yang kaya akan sumber energi air. Ketika awal 1990 pemerintah Jepang memberikan bantuan melalui program Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk menginvestigasi berapa banyak sumber energi terbarukan dari air yang dapat dimanfaatkan di negara kita. Pada waktu itu dibuat kajian, dan tidak terlalu lama ditemukan lebih dari 73 GW (73 ribu MW) potensi energi listrik dari air di seluruh Indonesia.
Hari ini kapasitas listrik terpasang di seluruh Indonesia tidak sampai sebesar itu. Tapi sumber energi air bisa mencapai itu. Jadi cukup kaya. Memang benar ada sungai besar di daerah Papua yang dapat menghasilkan energi listrik sangat besar, tapi penduduknya tidak banyak. Jadi memang tidak semua jumlah 73 GW itu dapat dibangkitkan menjadi energi air. Tapi setidaknya ada 30 GW yang dapat dieksplorasi untuk dijadikan sumber energi listrik dalam rangka meningkatkan ketahanan energi nasional.
Berapa dari 73 GW tersebut yang saat ini sudah dimanfaatkan untuk energi listrik dari sumber tenaga air?
Ini yang menyedihkan. Sampai hari ini, ada energi listrik yang skala kecil dan ada skala besar. Secara komposisi cukup banyak dibandingkan energi terbarukan lainnya, tapi yang banyak tersebar di Indonesia dari sungai kecil dan besar itu sangat minim.
Baca: Biaya Listrik Bengkak Saat WFH? Ini Tips Hemat Memakai AC Agar Tetap Dingin
Pemerintah sudah menjalankan energi air dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) mungkin sejak 2006. Jadi sudah terbangun 14 tahun, dan keterlibatan jumlah energi air yang berasal dari skala kecil berkisaran 300 MW. Jadi sangat kecil. Sedangkan potensi yang bisa digali 30.000 MW. Kemudian 10% dari jumlah itu adalah potensi dari skala kecil berarti 3.000 MW. Jadi baru sekitar 1% setelah 14 tahun.
Itu memang sangat menyedihkan. Itu yang selalu kita kumandangkan kepada pemerintah bahwa ada yang salah dalam pengaturan energi air. Akibatnya, sampai hari ini energi air yang murah dan tersedia di mana-mana, tapi kita masih belum bisa bersaing dengan energi fosil.
Mengapa pemanfaatannya masih sangat minim? Apa kendalanya?
Kendala utamanya itu sesungguhnya dari sisi regulasi. Jadi sampai hari ini peraturan mengenai energi terbarukan yang terkait dengan hidro masih kurang friendly. Bahkan bisa dibilang tidak friendly terhadap kemungkinan swasta untuk berkiprah di sektor ini.
Kenapa swasta harus banyak berperan di sektor ini? Karena PLN merupakan satu perusahaan yang besar. Jadi kalau hendak membangun pembangkit energi di satu sungai yang debitnya hanya 45 meter kubik per detik, terjunannya hanya 100 meter, sangat tidak efisien untuk mereka. Jadi butuh peran swasta.
Cara untuk menarik peran swasta membutuhkan regulasi yang friendly terhadap swasta. Hari ini terus terang regulasinya masih Jawa sentris. Di Jawa jumlah energi sudah cukup banyak sehingga biaya pembangkitan PLN sangat rendah. Ketika mengatur negara ini dari Sabang sampai Merauke, demand PLN yang paling tinggi di Jawa. Jadi regulasinya sangat disayangkan berorientasi kepada di Jawa.
Seharusnya seperti ini, hari ini PLN membangkitkan di Indonesia Timur dengan biaya pembangkitan PLN, saya ambil contoh, di Tolitoli harganya Rp 2.300 - Rp 3.000 per KwH. Ketika dijual kepada swasta harganya cuma Rp 1.400 sekian, sehingga PLN mengalami kerugian yang besar. Seharusnya orientasi di Indonesia Timur adalah bagaimana caranya memperkecil kerugian.
Artinya apa? Dibiarkan saja swasta membangun yang kecil - kecil dengan biaya yang lebih murah daripada biaya PLN. Kemudian seiring dengan waktu akan makin turun. Misalnya di Tolitoli, kalau swasta dikasih kesempatan untuk membangun di daerah tersebut, jika biaya PLN hari ini Rp 2.000 sampai Rp 3.000 mungkin ketika diberi kepada swasta dengan harga Rp 1.700 pastinya banyak swasta yang akan investasi di sana.
Tapi karena aturannya tadi saya katakan berorientasi di Jawa yang masih cukup murah. Di Jawa energi air cukup murah Rp 850, sehingga untuk dibangun di Tolitoli dengan harga Rp 1.500 sampai Rp 1.700 maka takut juga pembuat kebijakannya di sana.
Mengapa pemerintah ataupun PLN harus memberikan regulasi yang mendukung PLTA? Apakah keunggulan dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dibandingkan pembangkit-pembangkit listrik lainnya?
Keunggulannya, nomor satu yaitu energi terbarukan yang bersumber dari air lebih bersih dan ramah lingkungan. Nomor dua, harganya juga murah dan sangat ekonomis. Bayangkan hari ini PLTU itu yang paling murah di Indonesia, nilai dilihat dari dollar hari ini adalah sekitar Rp 700. Sedangkan energi air yang dibangun di Jawa ada dengan harga Rp 850, flat selama 20 tahun. Itu dari segi ekonomis.
Ketiga, tentunya karena beberapa tahun ini pemerintah juga agak teriak-teriak karena neraca perdagangan yang defisit, dimana Indonesia sudah bukan eksportir dari minyak lagi. Kita sudah sebagai importir dan sebagainya. Dengan digunakannya sumber-sumber energi terbarukan tentunya akan menghemat keuangan negara dalam jumlah yang cukup besar.
Undang-undangnya pun sudah jelas yaitu energi terbarukan ini harus diprioritaskan, tapi dijabarkan dalam peraturan masih belum. Mungkin dalam satu - dua minggu ini akan terbit Peraturan Presiden yang Insya Allah saya harapkan akan menjadi friendly terhadap energi terbarukan.
Indonesia sudah sangat tertinggal dibandingkan negara-negara lain seperti Vietnam, Thailand, dan sebagainya di sektor energi terbarukan. Kita berharap Peraturan Presiden yang akan terbit dalam minggu ini dan minggu depan akan memberikan solusi terhadap permasalahan itu semua.
Bagaimana dengan isu bahwa PLTA itu selalu memerlukan lahan yang luas? Apakah memang PLTA maupun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) juga memerlukan lahan yang luas? Apakah tidak ada teknologi yang memungkinkan untuk membangun pembangkit listrik memerlukan dengan lahan yang lebih sedikit?
Terkait dengan lahan, kalau itu memakai sistem bendungan, memang membutuhkan lahan yang besar karena ada wilayah yang ditenggelamkan. Itu terkait isu lahannya. Tapi kalau run-off river, saya rasa isu lahan itu sangat - sangat minim, bahkan bisa dalam lahan lima hektar. Kalau bendungan mungkin kita semua sudah tahu, air dikumpulkan dalam suatu waduk kemudian diterjunkan melalui turbin.
Sedangkan run-off river itu kita membiarkan aliran sungai tetap berjalan selama 24 jam. Kita hanya pinjam, air sungainya kita diversi sedikit ke sekitar sisi sungai, kita terjunkan ke turbin, kemudian mungkin 100 m, atau 1 km, atau 2 km, kita kembalikan lagi pada sistem sungai.
Itu yang namanya run-off river. Sistem ini tidak membutuhkan area yang panjang, biasanya rata-rata 20 - 25 hektar. Di area seluas itu biasanya sumber energi air ini adanya di daerah - daerah hulu sungai, bukan daerah perkotaan, dan sebagainya. Jadi sebagai perbandingan, kalau ada hutan industri itu skalanya ratusan ribu hektar, kalau kita minta izin kepada kehutanan untuk pembangkit listrik run-off river itu hanya antara 5 sampai 30 hektar.
Apakah sudah ada PLTA yang memakai sistem run-off river ini di Indonesia?
Banyak sebetulnya yang telah memakai run-off river, bahkan ada satu di Bandung yang dibangun 100 tahun lalu, yaitu di daerah Dago, Jawa Barat. Itu barang antik, zaman Belanda pun sudah dikerjakan. Tapi mengapa ketinggalan karena dulu dibangun di zaman Belanda, kemudian harga minyak murah. Ini dilupakan oleh para pembuat kebijakan, dan baru sekarang ini dimanfaatkan.
Dengan harga minyak yang tinggi mulai dipikirkan kembali sisi ekonomis menggunakan energi air. Ini bukan metode yang baru, itu sudah dari zaman Belanda. Artinya, usianya ratusan tahun bahkan turbin-turbinnya pun ada beberapa yang skala kecil made in Indonesia. Di Bandung itu sudah banyak turbin - turbin.
Apakah PLTA bisa menjadi tulang punggung untuk ketahanan energi di Indonesia?
Bisa. Bahkan di dalam penyusunan Peraturan Presiden kemarin, kalau pemerintah betul-betul serius mungkin dalam lima sampai 10 tahun ke depan bisa terbangun sedikitnya 20.000 megawatt. Jumlah 20.000 megawatt itu sangat besar untuk pasokan listrik di Indonesia.
Tapi sekali lagi, kalau saya melihatnya begini, hari ini banyak swasta yang ingin berpartisipasi di energi terbarukan. Banyak lembaga keuangan yang juga ingin membiayai pembangunan energi terbarukan. Pemerintah juga sudah mau untuk bergerak ke arah energi terbarukan. Tapi memang BUMN kita memang hari ini harus untung, untung, untung, untung.
Visi untung ini kadang menjadikan PLN, saya tidak menyalahkan PLN, ingin memperoleh keuntungan yang sebesar - besarnya dalam rangka mencapai target yang ditetapkan oleh Menteri BUMN. Untuk mencapai keuntungan yang besar dalam waktu yang singkat itu tentunya jangan mengganti sistem yang ada. Itu yang menjadi conflict of interests.
Kalau menurut saya, seharusnya menteri BUMN kita sudah saatnya berpindah seperti apa yang terjadi di Telkom kira-kira pada 1990-an. Dulu Telkom pada 1990-an memiliki dua teknologi. Ada yang kabel seperti biasa, ada yang teknologi seluler. Pada waktu itu PT Telkom memilih jalur untuk mengembangkan teknologi baru yaitu teknologi saluran. Faktanya, hari ini Telkom leading provider di Indonesia. Sukses menurut saya. PT Telkom sukses dalam mengadaptasi teknologi baru.
PLN hari ini ada di simpang jalan antara tetap menggunakan fosil, atau berubah kepada energi terbarukan. Ini harus membutuhkan pengarahan yang betul dari Menteri BUMN untuk perubahan ini. Itu karena perubahan ini adalah perubahan yang sangat signifikan, dari fosil menjadi energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan, lebih murah dan sebagainya.
Guna beralih dari energi fosil ke energi terbarukan, selain dukungan regulasi, apa lagi dukungan yang diperlukan khususnya untuk PLTA?
Dukunganya kesadaran dari Menteri BUMN untuk mengubah PLN, dan transformasi PLN dari fosil kepada non fosil. Selalu ada pandangan yang pesimis, biasanya kita lihat di empat tahun terakhir ini, selalu dikumandangkan bahwa kita tidak bisa masuk ke energi terbarukan karena itu mahal. Itu selalu dikumandangkan. Ada lagi energi terbarukan yang lain akan sulit, seperti matahari dan sebagainya.
Kalau dihitung biaya fosil dan biaya kerusakan lingkungan, mungkin seluruh energi terbarukan yang lainnya maka harganya akan lebih murah dari pada fosil. Jadi, ini perlu komitmen dari Menteri BUMN. Saya katakan harus menteri BUMN, bukan Menteri Energi dan sebagainya karena yang mengendalikan PLN adalah Menteri BUMN.
Kalau menteri BUMN mau turun tangan untuk mentransformasikan kepada energi terbarukan, maka yang terjadi akan seperti Telkomsel. Walaupun dibuka kompetisi seluas - luasnya untuk industri telekomunikasi, namun Telkom karena lebih dulu dan lebih lebih awal dalam menyadari transformasi ini, maka Telkom memimpin. PLN sebenarnya dengan polesan sedikit di dalam satu kebijakan, Insya Allah transformasi energi terbarukan bisa mulus. (*)