Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, MSc., Ph.D |
Dunia masih berada dalam Pandemi COVID-19. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai langkah penanganan agar masyarakat terlindung dari virus tersebut. Kali ini Perspektif Baru mewawancarai Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, MSc., Ph.D. Ia adalah ahi kebijakan kesehatan yang mendapat amanat dari Pemerintah Indonesia untuk menjabat sebagai Ketua Tim Pakar dan Juru Bicara Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Menurut Prof. Wiku, penanganan COVID-19 di Indonesia selama delapan bulan terakhir telah mengukir beberapa pencapaian secara kolektif, seperti tren penurunan kasus aktif, serta tren kenaikan angka kesembuhan dari bulan ke bulan sejak awal Maret sampai November. Persentase kasus aktif nasional sekarang sudah di bawah dunia, yaitu 13% dibanding dengan 25,52%. Persentase kesembuhan nasional kita juga sudah di atas dunia yaitu 83,5% dibandingkan 71,9%.
Prof. Wiku mengingatkan bahwa semua tempat potensial untuk terjadi penularan pada daerah-daerah yang terjadi kerumunan. Jadi yang harus dihindari adalah kerumunan, apalagi tidak pakai masker dan juga tidak cuci tangan pakai sabun. Jadi kalau 3M dilakukan, maka potensi untuk terjadi penularan sangat sedikit. Mengapa kasusnya makin lama makin terkendali? Itu karena makin disiplin masyarakatnya, otomatis virusnya tidak mampu untuk bisa menular.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Prof. Wiku.
Bagaimana penanganan COVID-19 di Indonesia selama delapan bulan terakhir?
Bangsa kita telah mengukir beberapa pencapaian secara kolektif, seperti tren penurunan kasus aktif dan kematian, serta tren kenaikan angka kesembuhan dari bulan ke bulan sejak awal Maret sampai November. Selain itu angka testing kita berangsur-angsur meningkat. Dari yang dulunya 16,86% pada Juni sampai pekan ketiga Oktober pernah mencapai 82,51%. Jadi kenaikannya cukup drastris dengan kamampuan nasional yang ada.
Namun kita perlu mengingatkan semuanya bahwa masih ada tugas yang menanti, seperti menekan angka kematian nasional sampai betul-betul di bawah angka dunia. Jadi prinsipnya, angka kematian kita akibat COVID-19 sudah menurun tapi masih di atas angka kematian global.
Persentase kasus aktif nasional sekarang sudah di bawah dunia, yaitu 13% dibanding dengan 25,52%. Persentase kesembuhan nasional kita juga sudah di atas dunia yaitu 83,5% dibandingkan 71,9%. Tetapi presentase kematiannya masih di atas dunia. Angka kita 3,4% dan angka dunia 2,5% .
Apa penyebabnya tingkat kematian kita masih tinggi dibandingkan tingkat kematian dunia?
Tingkat kematian kita masih tinggi artinya sekarang posisinya lebih tinggi dari dunia, tapi kita sudah menurun dari waktu ke waktu. Dunia juga begitu angkanya menurun. Tapi percepatan penurunan kita dibandingkan dunia menunjukkan kita lebih besar, sehingga kita menurunnya lebih drastis.
Kita dalam proses belajar. Tentunya saat mengalami penyakit yang baru, kita semua tidak tahu cara menanganinya termasuk tenaga medis. Dari sini kita mulai belajar dan mulai diketahui obat yang paling pas, sehingga akibatnya kasusnya bisa menurun.
Selain itu juga masyarakat semakin tahu, dan stigma negatif di masyarakat juga sudah mulai menurun. Bahwa sakit ini sebenarnya tidak apa-apa. Jangan takut, jangan beri stigma negatif supaya mereka bisa ditangani di fasilitas kesehatan, misalnya rumah sakit. Dengan diagnosa lebih dini dan penanganan lebih dini, maka potensi untuk sembuhnya makin tinggi.
Tadi sudah dijelaskan bahwa angka kesembuhan kita naik terus, tapi angka kematian sudah turun tapi belum di bawah angka dunia. Kita terus menekan itu dengan cara kalau kita menjalankan protokol kesehatan maka penularannya makin sedikit. Testing-nya juga banyak. Otomatis nanti angkanya juga akan turun sendiri dengan angka kematian ini.
Apakah dengan tingkat kesembuhannya makin tinggi itu sudah sesuai target dari Satgas COVID-19?
Kalau kami lihat dari angka kesembuhan makin tinggi tentunya kita melihatnya dari angka rata -rata dunia. Kalau kita bisa sama angka kesembuhannya atau bahkan lebih, maka itu adalah prestasi. Tapi kita tidak boleh mengatakan kalau sudah 80% lebih atau 82,51% maka itu sudah cukup. Kesembuhan harusnya 100%. Semua orang sakit harus sembuh tidak boleh ada yang meninggal. Itu prinsip yang harus dipegang.
Kalau sekarang belum 100% yang sembuh, itu artinya bisa saja kasus yang ditangani waktu masuk ke rumah sakit sudah dalam kondisi yang parah, kasus berat. Jadi potensi untuk disembuhkannya makin berkurang jauh. Jadi perlu kerja sama dengan masyarakat. Kalau sudah ada gejala COVID-19 segera datang ke fasilitas kesehatan supaya bisa ditangani cepat, dan potensi sembuhnya tinggi. Begitu juga dokternya mengetahui bahwa ini COVID-19 dan lebih awal ditanganinya, maka pasti potensi sembuhnya juga makin tinggi. Jadi targetnya 100%. Semua negara pasti maunya sembuh 100%.
Walaupun tadi angka-angkanya sudah cukup baik dibandingkan angka-angka dunia, tapi kalau dilihat bahwa jumlah penambahan kasus baru yang terkonfirmasi COVID-19 masih cukup banyak, yaitu di atas seribu orang per hari. Apakah faktor penyebabnya dan dimanakah klaster-klaster penyebarannya di Indonesia ini?
Jadi kita harus bisa melihat perspektif makro atau besar. Pertama adalah Indonesia negara besar dilihat dari luas wilayah dan penduduknya. Populasinya termasuk terbesar keempat di dunia. Otomatis kalau terkena penyakit, karena penduduknya banyak, maka pasti potensi angkanya tinggi dibandingkan dengan negara yang lebih kecil wilayah maupun penduduknya.
Jadi angka seribu per hari atau bahkan kita pernah hampir mencapai lima ribu per hari karena jumlah testing-nya juga makin meningkat. Awalnya kita hanya punya satu laboratorium yaitu di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Sekarang sudah ada 422 laboratorium se-Indonesia.
Bayangkan dalam delapan bulan kita bisa mengintegrasikan 422 laboratorium, dimana laboratoriumnya bukan dari sektor kesehatan saja. Ada yang dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pemerintah daerah, TNI, Polri, Kementerian Pertanian, Kemenristek, dan Kementerian Pendidikan. Jadi semua itu digabung menjadi 422, dan sudah melakukan testing terdekat dari fasilitas kesehatannya.
Otomatis dengan testing meningkat, maka potensi untuk kasus positif diperiksa menjadi positif makin tinggi. Tapi jangan khawatir dengan testing makin banyak, yang kita kejar sekarang adalah positivity rate-nya harus rendah di bawah 5%. Sedangkan kita masih sekitar 14,2% secara nasional.
Tapi kembali lagi saya ingin menekankan, kalau melihat Indonesia jangan melihat dari kota besar, misalnya dari Jakarta. Indonesia itu sangat beragam ada 514 Kabupaten/Kota, 34 Provinsi. Dalam kita menangani COVID-19, kita menanganinya per wilayah dan per daerah. Itu karena setiap daerah memiliki masalah sendiri - sendiri, dan pengendaliannya adalah dilakukan oleh Satgas daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Dengan demikian semua masalah yang ada, misalnya kasus-kasus besar ada di provinsi tertentu atau kabupaten tertentu, itu yang kita pastikan. Jika itu baik maka otomatis kasus data nasionalnya juga membaik langsung. Jadi tidak bisa disamakan. Itulah yang kita lakukan dalam rangka testing-nya supaya naik, sehingga kita betul-betul tahu virusnya ini ke mana saja, menulari di daerah mana saja. Tapi bagi yang positif, pastikan kalau mereka dirawat dan harus sampai sembuh.
Dimana sekarang ini yang terbanyak orang tertularnya. Apakah di kendaraan umum, kantor, rumah, atau pasar?
Semua tempat potensial untuk terjadi penularan pada daerah - daerah yang terjadi kerumunan. Jadi kerumunan itu bisa terjadi di pasar. Kerumunan juga bisa di kantor kalau tidak dilakukan dengan protokol kesehatan yang baik. Di kendaraan umum pasti bisa terjadi kerumunan kalau itu tidak diatur, seperti di kereta, bus, kendaraan umum yang kecil misalnya angkot, dan seterusnya.
Itu semua merupakan tempat yang berpotensial terjadi penularan. Begitu juga di dalam mobil. Jadi di transportasi, pasar, dan aktivitas ekonomi lainnya juga potensial ada. Tempat beribadah juga sangat berpotensi, entah di Masjid, Gereja, Pura, dan seterusnya.
Yang harus dihindari adalah kerumunan, jadi intinya begitu. Penularan bisa terjadi di mana saja selama ada kerumunan, itulah letaknya penularan. Apalagi tidak pakai masker, dan juga tidak cuci tangan pakai sabun.
Menyinggung kerumunan dan juga cara mencegahnya, selama ini cara mencegahnya adalah dengan melakukan 3M, yaitu Memakai masker, menjaga jarak, dan Mencuci tangan di setiap kesempatan. Apakah itu tidak bisa mencegah walaupun saat berada di kerumunan, kita memakai masker dan pulangnya cuci tangan bahkan juga mandi?
Jadi prinsipnya sederhana sebenarnya. Dimulai saja dengan kita harus tahu musuhnya. Kenali musuhmu dan kita harus kenali diri kita. 1.000 kali kau perang, 1.000 kali kau menang. Pertama, kita harus tahu virusnya dulu, bagaimana cara menularnya virus ini. Cara menularnya adalah menempel di selaput permukaan yang ada di mata, hidung, dan mulut. Jadi kalau kita tahu cara dia menularnya, maka kita tutup pakai masker dengan baik-baik, menutupi batang hidung sampai mulut, di pipi dan di dagu, otomatis dua ini sudah terlindung.
Kalau di mata biasanya dapatnya itu adalah kalau ada droplet dari orang lain. Kalau orang lainnya pakai masker sebenarnya mata kita tidak apa-apa. Tapi mata kita ini paling mudah diantar oleh jari kita sendiri, yang menyentuh sesuatu terus kemudian tanpa cuci tangan terus mengucek-ucek mata.
Jadi kalau 3M dilakukan, maka potensi untuk terjadi penularan sangat sedikit, apalagi jaga jarak. Saat kita memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan pakai sabun sebenarnya virusnya menjadi sulit untuk bisa menular. Mengapa kasusnya makin lama makin terkendali? Itu karena makin disiplin masyarakatnya, otomatis virusnya tidak mampu untuk bisa menular.
Artinya, kalau kita lihat dari virus, dia tidak bisa multiplikasi atau memperbanyak diri. Cara dia memperbanyak diri adalah dengan menular. Kemudian orang yang sakit otomatis virusnya menjadi semakin banyak. Kalau sekarang dijaga jaraknya dan pakai protokol kesehatan, bagaimana cara dia melacaknya? Di situlah letaknya pengendalian kasusnya.
Salah satu upaya penanganan COVID-19 adalah menghadirkan vaksin. Saat ini Indonesia juga sedang mengembangkan vaksin yang disebut Vaksin Merah Putih. Sampai mana perkembangannya saat ini?
Jadi yang kita perlu tahu adalah pertama, vaksin itu kaitannya dengan memproteksi masyarakat. Jadi proteksi masyarakat yang pertama adalah 3M tadi, protokol kesehatan. Bila itu dilakukan oleh mayoritas penduduk Indonesia, maka itu adalah tameng seperti vaksin sebenarnya karena melindungi kita secara kolektif.
Kemudian yang kedua adalah double perlindungannya melalui vaksin. Vaksin ini harus dipastikan juga dilakukan pada mayoritas penduduknya, jadi ada hitungannya. Kalau kita lihat sekarang produksinya, seluruh dunia berlomba untuk membuat vaksin karena dalam rangka melindungi masyarakatnya. Vaksin itu untuk jadi dan bisa dipakai itu harus memenuhi dua prinsip utama, yaitu aman dan efektif. Jangan sampai kita memberikan vaksin dalam rangka perlindungan, namun justru tidak aman untuk orang yang diberi vaksin dan tidak efektif menimbulkan kekebalan.
Yang dilakukan oleh Indonesia dengan vaksin merah putih adalah upaya membuat vaksin dalam rangka kemandirian bangsa dan bisa memproteksi masyarakat Indonesia. Sampai dimana sekarang prosesnya, mereka baru mau masuk ke dalam uji praklinik yaitu pada hewan percobaan. Kita ingin memastikan bahwa prosesnya itu berjalan dengan lancar dan nanti akan dilanjutkan dengan uji klinis 1, 2, dan 3 seperti yang terjadi di negara-negara lain untuk vaksin-vaksin lainnya. Memang kita agak sedikit terlambat dibandingkan negara lainnya, tapi kita sekarang sedang serius untuk memastikan bahwa vaksin merah putih ini bisa terjadi.
Saat ini di masyarakat dan juga terutama lihat di media sosial banyak sekali yang tidak percaya terhadap vaksin. Bagaimana upaya dari tim Satgas untuk bisa meyakinkan masyarakat?
Vaksin ini sesuatu yang teknologinya maju, tinggi. Jadi untuk masyarakat untuk bisa memahaminya memang perlu waktu. Begitu juga para ilmuwan di seluruh dunia harus juga belajar cepat untuk membuat vaksin ini. Kadang - kadang di dalam proses membuatnya semua berlomba cepat. Kita tidak boleh salah juga, masyarakat juga sudah mulai memahami sedikit -dikit. Jadi kadang-kadang dalam proses belajar ada orang yang terlalu jauh memperkirakan, padahal bukti-buktinya belum cukup untuk itu.
Dari dulu vaksin itu bukan obat, dan dikembangkannya melalui proses yang panjang sebenarnya. Sekarang ini harus cepat karena dalam rangka melindungi. Kalau tidak begitu nanti dunia tidak bisa ada aktivitas sosial ekonomi.
Kenapa masyarakat masih ada yang ragu, ada yang sangat optimis. Yang ragu karena kadang-kadang menerima berita dan informasinya dari sumber-sumber yang tidak bisa dipercaya, atau tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Misalnya, ada uji vaksin di suatu negara ternyata yang diuji vaksin bisa tertular. Lalu reaksinya langsung kalau divaksin ternyata orangnya jadi sakit berarti tidak bisa melindungi. Padahal di dalam uji vaksin itu memang ada kontrol. Jadi ada yang isinya benar vaksin, dan ada yang plasebo istilahnya. Jadi kontrol untuk memastikan bahwa kalau yang pakai kontrol tadi itu bukan vaksin, yang satunya lagi memang vaksin. Dengan cara begitu, kita juga meyakinkan bahwa vaksinnya kalau diberikan bisa memproteksi, kalau yang dikasih bukan pasti kena. Hal-hal seperti itu yang harusnya dipahami oleh masyarakat.
Kalaupun di negara lain misalnya Brazil atau dimana pun ada kasus yang divaksin meninggal, coba dilihat dulu meninggalnya karena apa. Belum tentu karena vaksinnya juga. Jadi jangan cepat-cepat bereaksi dan tunggulah berita yang valid dari ahlinya, atau pakar, atau dari sumber yang memang betul - betul bisa dipercaya.
Vaksin itu digunakan untuk memproteksi. Berarti nilai manfaatnya harus lebih banyak daripada nilai risikonya, nilai negatifnya. Jadi dilakukan uji, dan dilakukan uji itu prosesnya juga transparan. Kalau sampai ada sesuatu yang terjadi, maka semua orang juga akan bisa tahu melalui para pakar terutama ahli di bidang laboratorium uji. Mereka yang akan menyampaikan secara ilmiah dan dari situlah kita seharusnya melihat keyakinan terhadap apa yang terjadi. Sampai dengan saat ini relatif belum ada sesuatu yang signifikan kaitannya dengan efek negatif. Kita berupaya untuk bisa dapat nilai yang sangat positif terhadap fungsi dari vaksin ini.
Pada Desember 2020 ada dua momen besar di Indonesia yaitu Pilkada serentak dan libur Natal. Apa langkah yang akan diambil Tim Satgas untuk mencegah penularan COVID-19 saat pada Desember ada dua momen besar tersebut?
Kaitannya dengan Pilkada, ini prosesnya sudah cukup lama, dan sudah berapa bulan persiapan kerja sama dengan KPU. Satgas memastikan bahwa semua peraturan dan protokol kesehatan dijalankan dalam penyelenggaraan Pemilu di daerah. Mulai dari kampanye sampai dengan nanti pengambilan suara. Jadi betul-betul protokol itu dijalankan dengan ketat dan diawasi. Selalu ada monitoringnya untuk memastikan.
Tentang liburan panjang liburan panjang di Natal, ini bukan satu-satunya liburan. Liburan sudah pernah terjadi dan harus ada kerja sama antara masyarakat dan pemerintah. Sebelumnya sudah ada liburan Idul Fitri, Idul Adha, liburan terkait dengan 17 Agustus yang cukup panjang. Memang di beberapa liburan tersebut terjadi kenaikan kasus sekitar satu - dua minggu kemudian.
Sekarang baru saja kita melewati liburan panjang juga, dan harapannya juga kita makin belajar karena di dalam menjalankan liburannya pun masyarakat sudah kita ingatkan untuk betul-betul menjalankan protokol kesehatan. Di rumah saja, tidak perlu pergi liburan apabila tidak terpaksa. Jadi hal-hal seperti itu membuat adaptasi. Sebenarnya itu adaptasi dari waktu ke waktu secara kolektif, masyarakat itu belajar.
Jadi untuk kepentingan nanti di akhir tahun ada dua kejadian itu, seharusnya dari sekarang masyarakat juga selalu belajar untuk itu. Kita selalu mengingatkan Pilkadanya harus tertib betul dilakukannya, dan kita ketat dalam hal itu. Begitu juga dalam liburan. Penyelenggara tempat - tempat wisata termasuk mall dan tempat - tempat lainnya yang biasa dikunjungi oleh masyarakat harus tertib melaksanakan protokol kesehatan. Dalam liburan juga harus kita kontrol seperti pengalaman sebelumnya, dan harus lebih baik lagi.