27 Persen Mahasiswa Kedokteran Mengalami Depresi. Benarkah?

mahasiswa kedokteran stress
Ilustrasi: Dokter

Jika ditanya jurusan dan fakultas apa yang paling sulit di perguruan tinggi salah satu jawabannya mungkin adalah kedokteran. Fakultas Kedokteran dengan beban mata kuliah yang cukup berat, selain juga biaya yang mahal rawan menghasilkan mahasiswa-mahasiswa yang cenderung cepat merasa stress, tertekan bahkan depresi.

Apalagi jika dia sudah masuk semester-semester terakhir dimana semakin banyak tuntutan baik eksternal maupun internal yang sangat mungkin membuat para mahasisawa kedokteran ini merasa “menderita” di tengah pertanyaan kapan lulus jadi dokter.

Baca: Bila Tak Ditangani, Depresi Bisa Picu Bunuh Diri

Pandangan di dalam masyarakat yang demikian tinggi terhadap profesi dokter dibandingkan dengan profesi lainnya membuat para dokter dan calon dokter secara tidak langsung dituntut untuk menjadi sempurna, tidak boleh ada celah untuk melakukan kesalahan.

Mungkin masyarakat tidak pernah menyadari meskipun dokter adalah orang yang tahu bagaimana caranya agar tidak sakit tetapi mereka adalah manusia biasa sehingga dengan harapan dan tuntutan tinggi dari masyarakat itulah membuat mereka cenderung memiliki kemungkinan mengalami depresi yang lebih tinggi dari orang kebanyakan.

Bahkan kecenderungan depresi ini sudah terjadi sejak masih di bangku kuliah. 

Mengapa mereka para mahasiswa kedokteran sekaligus calon dokter ini rawan mengalami stress dan bisa menjadi depresi? Karena mereka merasa kurang atau tidak mampu memenuhi harapan tentang sosok ideal seorang dokter yang dibuat oleh publik.

Setidaknya akan timbul rasa bersalah pada diri mereka terlebih jika mereka melakukan sebuah kesalahan dalam membuat diagnosa misalnya. Dan salah satu penyebab timbulnya rasa depresi adalah perasaan bersalah yang berkepanjangan.

Fakta yang cukup mengejutkan dirilis oleh Journal of The American Medical Association berdasarkan penelitian terbaru dengan menggunakan sampel sekitar 200 dari total 129 ribu  mahasiswa kedokteran di 47 negara.

Mereka menemukan bahwa sebanyak 27% mahasiswa kdokteran mengalami depresi dan gejalanya, sedangkan 11% dari jumlah tersebut bahkan dikabarkan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupnya sendiri selama menuntut ilmu kedokteran di fakultas.

Mahasiswa Fakultas Kedokteran memiliki peluang mengalami depresi 2-5 kali lebih besar pada kisaran 9%-56% dari seluruh populasi manusia di dunia.

Hanya sekitar 16% dari mahasiswa kedokteran yang mampu menghadapi dan bertahan dari segala tekanan atau mendapatkan bantuan dari konselor sehingga mentalnya cenderung lebih sehat, seperti yang dikatakan oleh Dr. Douglas Mata, seorang residen jurusan Patologi di Brigham and Women’s Hospital.

Dia mengatakan ini adalah sebuah paradoks dimana dokter yang seharusnya bisa “menyembuhkan” justru mengalami “penyakit” sehingga dia berharap para calon dokter bisa menyadari hal tersebut lebih awal. Tahun lalu Dr. Douglas Mata dan timnya juga menemukan tingkat kemungkinan depresi yang hampir sama pada para residen yang sedang melaksanakan tugas belajar di rumah sakit.

Data terbaru menunjukkan mahasiswa kedokteran mulai menunjukkan tanda-tanda awal depresi bahkan sejak tahun pertama kuliah sampai mereka praktek/ koas di rumah sakit. Belajar ilmu medis beserta prakteknya merupakan hal yang cukup sulit, rumit, menegangkan dan kompetitif.

Membutuhkan waktu yang panjang, hampir setiap hari harus belajar selama berjam-jam, belum lagi ketika mulai praktek magang di rumah sakit harus tetap terjaga saat orang lain sedang tidur.

Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk benar-benar meyakinkan apakah benar mahasiswa kedokteran yang memiliki kecenderungan mengalami depresi ataukah hal tersebut bisa juga terjadi pada mahasiswa diluar kedokteran seperti hukum, ekonomi, teknik dan lainnya.

Jadi masih perlu dilakukan penelitian yang mendalam untuk membandingkan tingkat depresi pada mahasiswa kedokteran dengan mahasiswa dari fakultas lainnya agar diketahui faktor penyebab dan resiko apa saja yang membuat orang cenderung memiliki kerentanan terhadap depresi.

Penulis: Pridiyawati Purnomowulan
LihatTutupKomentar