Penggiat JALA PRT sedang menyampaikan usulan RUU PRT kepada Baleg DPR RI |
“Mereka sebagai pihak yang rentan dari berbagai bentuk eksploitasi para majikan. Faktanya banyak kasus pelanggaran hak dan kekerasan terhadap PRT,” ujarnya. Menurutnya, tercatat kekerasan terhadap PRT sebanyak 342 kasus tahun 2017 dan 427 kasus tahun 2018.
“Pekerja rumah tangga harus dilindungi oleh undang-undang yang adil. Jangan sampai yang lemah menjadi pihak-pihak yang dinista oleh yang kuat,” ungkap anggota DPR RI dari Fraksi PAN itu dalam rapat dengar pendapat Badan Legislasi DPR RI dengan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Senin (2/12).
Menurut anggota FPAN DPR RI ini, berbicara PRT bukan hanya berbicara nasib 4,2 juta orang, tetapi juga berbicara tentang hubungan yang kuat dengan yang lemah. Antara majikan atau pemberi kerja dengan pekerja rumah tangga.
“Dalam banyak riset yang dilakukan oleh pemikir teori kritis, yang kuat cenderung menghisap dan bahkan menindas, baik dengan cara halus maupun kekerasan,” ungkapnya.
Dia memberi contoh pada paket acara yang diberi label Tolong di sebuah stasiun televisi. “Yang mau menolong yang lemah akhirnya bukan yang kuat tetapi sesama mereka yang lemah dan miskin,” ungkapnya.
Zainuddin mengatakan, sesungguhnya DPR RI sudah menjadikan RUU Pekerja Rumah Tangga sebagai usulan di Prolegnas sejak 2004. Sudah disusun panja dan studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina. Namun tidak berhasil mengambil keputusan.
Salah satu sebabnya karena masih melihatnya dari sisi pemberi kerja. Dalam hal ini dikhawatirkan banyak yang tidak bisa mengangkat pembantu rumah tangga karena kewajiban yang harus dipenuhi menjadi cukup berat.
“Kita harus melihat dari dua pihak. Dari sisi pekerja, kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga cukup tinggi. Oleh karena itu mendesak untuk menyusun undang-undang yang bisa melindungi pekerja rumah tangga,” ujarnya.
Padahal bisa dikatakan bahwa RUU PRT bakal menjadi aturan progresif terkait perlindungan terhadap PRT di Indonesia. Draf RUU PRT tersebut tidak hanya mengatur soal perlindungan terhadap PRT, tetapi juga secara keseluruhan mengubah konstruksi hubungan majikan dan PRT.
Selama ini, majikan ibarat raja kecil sementara PRT adalah hamba sahaya. RUU PRT ini mengubah relasi kuasa menjadi hubungan kerja formal layaknya pekerja pada umumnya. Bedanya, apa yang dikerjakan adalah urusan domestik rumah tangga.
Anggota DPR RI asal Dapil X Gresik dan Lamongan Jawa Timur itu menegaskan semangat RUU yang hendak disusun haruslah semangat sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam menjalin relasi antara yang kuat dan yang lemah.
“Bukanlah umatku jika yang kuat tidak menyayangi yang lemah dan bukan umatku jika yang lemah tidak menghormati yang kuat,” ucap Zainuddin mengutip hadits Nabi SAW.
Dengan semangat seperti itu, sambungnya, maka akan bisa kita buat undang-undang yang dirasa adil, baik bagi pemberi kerja maupun pekerja rumah tangga itu sendiri, sehingga tidak ada alasan untuk menunda pembahasan RUU pekerja rumah tangga ini.
“Saya mendesak agar RUU Pekerja Rumah Tangga ini bisa menjadi prioritas 2020 dalam prolegnas tahun 2020-2024 ini,” tegasnya. (*)
Prof Dr Zainuddin Maliki Msi, anggota FPAN DPR R |