Suarajatim.com - Bagi orang Tionghoa, perayaan Cap Go Meh adalah titik awal untuk memulai segala aktivitas. Di hari itu, semua roh dan anasir jahat harus dihilangkan agar kehidupan masyarakat tidak diganggu.
Perayaan Cap Go Meh juga dikenal dengan Perayaan Lentera, Shang Yuan, atau Xiao Guo Nian (Tahun Baru Kecil). Masyarakat Tionghoa meyakini Cap Go Meh atau tanggal 15 bulan pertama Imlek sebagai titik awal untuk memulai segala aktivitas. Di hari itu, semua roh dan anasir jahat yang akan mengganggu harus dihilangkan agar kehidupan masyarakat tidak diganggu.
Baca: Ibis Surabaya City Center
Karena itu Perayaan Cap Go Meh biasanya dilakukan dengan menggelar ritual tolak bala. Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia melakukan ritual tolak bala itu dengan jut bio. Yaitu kirab atau arak-arakan keliling kota dengan menggotong kimsin atau arca suci para dewa . Selain sebagai tolak bala, jut bio juga diharapkan sebagai sarana menyebar berkah dewa kepada warga.
“Dilewati atau disinggahi kimsin, memunculkan harapan bagi mereka agar terhindar dari segala bencana dan mendapatkan berkah yang melimpah, terutama sukses dalam perdagangan,” kata Nugroho, Ketua Perayaan Cap Go Meh di Lasem, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Kota-kota di Indonesia yang memiliki tradisi Tionghoa kuat, selalu menggelar tradisi kirab Cap Go Meh. Namun yang paling semarak, bahkan terkenal sampai luar negeri adalah perayaan Cap Go Meh di Singkawang, Kalimantan Barat. Di kota ini, perayaan ditandai dengan kirab ratusan tatung, louya, atau orang-orang sakti, yang dipercaya mampu mengusir roh-roh jahat.
“Mereka berkeliling kota di hari Cap Go Meh ini untuk mengusir roh-roh jahat yang akan mengganggu keselamatan penduduk selama satu tahun ke depan,” jelas Bong Cin Nen, salah satu panitia.
Berdiri di atas tandu yang diusung puluhan pengiring, tatung-tatung tersebut memamerkan kesaktiannya di sepanjang jalan. Berdiri di atas pecahan kaca atau sisi tajam pisau, bahkan menusukkannya ke sekujur tubuh tanpa cedera sedikit pun. Ada pula yang menusukkan besi-besi seukuran jeruji sepeda, tembus pipi kanan ke pipi kiri tanpa setetes pun darah keluar.
Bahkan ada yang menusuk pipi dengan besi seukuran jari tangan dewasa atau ranting tanaman yang masih dipenuhi daun, juga tanpa mengeluarkan darah. Hebatnya lagi, pada besi-besi itu masih ditambahkan beban-beban berat sampai berkilo-kilogram tanpa mengakibatkan pipi robek. Ada yang memberi beban besi penusuknya dengan pelek sepeda dan mobil mainan di ujungnya.
“Bila di sepanjang jalan, tatung-tatung menunjukkan atraksi kesaktian, itu sebagai perwujudan bahwa mereka adalah orang-orang sakti yang berkemampuan menangkal gangguan roh-roh jahat,” lanjut Bong Cin Nen.
Ritual membersihkan kota tersebut, didahului dengan doa-doa memohon ijin pada dewa yang dipercaya menguasai tanah Singkawang, sehari sebelumnya. Di hari itu, tatung-tatung bergerak dari pekong (kelenteng) masing-masing menuju Vihara Tri Dharma Bumi Raya. Di kelenteng yang sering disebut Pekong Tua ini, diyakini Dewa Bumi Raya (Toapekkong) bersemayam.
Selesai memohon ijin pada Sang Dewa, mereka kemudian memamerkan kesaktiannya di depan kelenteng. Pamer kesaktian terus berlanjut saat capgomeh tiba, mulai saat berkumpul di Stadion Kridasana hingga ketika berpawai mengelilingi kota.
Di sepanjang perjalanan mereka menjadi perhatian jutaan warga lokal maupun wisatawan yang sengaja datang untuk menyaksikan atraksi ini. Sebagai bagian ritual membersihkan kota, tatung-tatung itu memercikkan air dan beras-beras yang sudah diberi doa ke khalayak. Tentu sambil tetap beratraksi seperti yang mereka tunjukkan saat masih di dalam stadion.// HK