Beban Dukun Tengger dan Kepercayaan Tua Masyarakat Bromo (2)

dukun tengger
Suarajatim.com - Sebelum menjalankan tugasnya, pada dukun Tengger harus melalui serangkaian ujian. Biasanya dilakukan bersamaan dengan puncak perayaan Kasada.

Upacara yang disebut Melumen itu merupakan saat di mana para dukun baru mengucapkan mantra panjang tanpa terputus sebagai syarat ujian mereka. Setelah mantra tersebut dilafalkan dengan benar, segera ketua dukun bertanya pada dukun-dukun lainnya, “Sah? Sah? Dan segera terdengar jawaban panjang, “Saaahhhhh…..” dan luluslah dukun baru itu.

Meskipun sudah disahkan, tidak serta merta mereka bisa langsung menjalankan tugas. Mereka harus melalui upacara resik atau berkenalan dengan yang mbaurekso (penunggu) desa, jgua pejabat formal dan informal. “Resik di sini artinya membersihkan jiwa dan raga. Jika sudah resik, barulah dukun boleh menjalankan tugasnya,” kata Sutomo.

Baca: Ibis Surabaya City Center

Masih ada lagi tugas berat yang harus dipikul oleh dukun yakni menghafalkan puluhan mantra. Dukun Tengger dan mantra memang tak bisa dipisahkan. Hidupnya adalah untuk membaca mantra dalam berbagai pujan. Mereka selalu dimintai mantra oleh para penduduk yang mempunyai suatu keinginan tertentu.

Jumlah mantra yang harus dihafalkan oleh seorang dukun mencapai 90 bab yang kebanyakan sangat panjang dan dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno).

“Semua mantra itu bersifat baik, tidak ada satupun kata-kata dalam mantra yang bersifat buruk seperti unutk penglarisan, tenung, atu mengganggu orang lain. Semua mantra merupakan doa keselamatan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta,” papar Sutomo.

Diiring wangi dupa dari prapen (tempat dupa dibakar), percikan air dari prasen (tempat air suci diletakkan) doa dan mantra melambung kea lam semesta.

Pada upacara entas-entasan atau pengruwatan, seorang dukun harus membaca mantra selama satu jam tanpa jeda. Mantra sepanjang itu harus dihafal di luar kepala, tidak boleh membaca catatan. Sutomo bangun setiap pukul 03.00 pagi, saat pikirannya masih fresh untuk menghafalkan mantra-mantra itu.

Dukun dalam masyarakat Tengger memang berbeda dengan dukun dalam masyarakat Jawa yang lebih lekat dengan hal-hal supranatural. Dukun di Tengger lebih dekat dengan masalah agama dan kepercayaan, bukan hal-hal supranatural.

Agama yang berlaku di Tengger diistilahkan oleh beberapa peneliti sebagai agama tradisional, yang secara konseptual memang agak kabur. Maka ketika harus memilih, kecenderungan di antara ke lima agama yang berlaku di negara ini, mereka lebih dekat dengan agama Hindu. Maka mereka menyebut dukun sebagai dukun pandita.//cst

Artikel Sebelumnya:  Beban Dukun Tengger dan Kepercayaan Tua Masyarakat Bromo (1)
LihatTutupKomentar