Suarajatim.com - Tak hanya menyuguhkan panorama lanskap alam yang menakjubkan, Bromo juga menyimpan kisah kearifan lokal yang layak untuk disimak. Salah satunya adalah keberadaan dukun yang memegang posisi tertinggi di lingkungan masyarakat Tengger. Di pundak mereka segala permohonan masyarakat Tengger biasa dititipkan.
Masyarakat Tengger menganut sebuah kepercayaan yang sudah dianut sejak abad-10 silam. Keyakinan itu pula yang mendasari masyarakat Tengger menjalankan sekian banyak ritual dalam kehidupan mereka.
Baca: Ibis Surabaya City Center
Dalam setahun, mereka melakukan enam kali pujan besar, yakni pujan Karo, Kapat, Kapitu, Kawolu, Kasanga, dan Kasada.
Sebagai masyarakat yang sangat dekat dengan beragam laku ritual, mereka menempatkan sosok pemimpin ritual sebagai sosok yang sangat dihormati dan disegani. Bahkan mereka lebih memilih untuk tidak memiliki kepala pemerintahan desa daripada tidak memiliki pemimpin ritual.
Para pemimpin ritual itu memang tak bisa dijabat oleh setiap orang. Ada banyak sekali persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi perantara masyarakat Tengger dengan Hyang Widhi Wasa, Sang Penguasa Jagad. Juga kepada Sang Hyang Brahma yang bersemayam di Gunung Bromo, kepada roh leluhur, dan Buta Kala.
Pemimpin ritual itu oleh masyarakat Tengger biasa dipanggil dengan sebutan Pak Dukun, bertugas menjadi penghantar (perantara) doa-doa masyarakatnya kepada Sang Pencipta.
Masyarakat Tengger masih identik dengan agama Hindu, meskipun secara tata cara berbeda dengan agama Hindu yang ada di Bali. “Sebagai penglantar, kami dipercaya bisa membuat permohonan itu dikabulkan,” tutur Sutomo, dukun Desa Ngadisari.
Dan di sinilah beratnya tugas sang dukun. Ada banyak sekali permintaan warganya, meskipun tidak pernah ada yang aneh-aneh, menunggu untuk dilantarkan. Sering para dukun ini harus mendatangi masing-masing rumah untuk keperluan mengantarkan doa tersebut.
“Apalagi pada bulan Karo (hari raya terbesar masyarakat Tengger), saya harus melayani pujan di setiap rumah, yang jumlahnya mencapai 500 keluarga,” papar Sutomo.
Ia biasa memulai ritual itu pada pukul 02.00 dini hari, dan baru pulang pada pukul 15.00. Maka, seorang dukun harus sehat lahir batin untuk menjalankan tugas yang cukup berat itu, yang harus dilakukannya seumur hidup.
Bersambung: Beban Dukun Tengger dan Kepercayaan Tua Masyarakat Bromo (2)